Buletin Perpustakaan dan Informasi Bogor - opini

Monday, May 08, 2006

Minat Baca Negeri Tetangga

Tanggal 21 April 2002 kira-kira pukul 12 siang waktu Singapore saya mendarat di Bandara Changi. Begitu menginjakkan kaki saya sudah merasakan adanya perbedaan suasana dengan Jakarta. Saya ke Singapore dalam rangka mengikuti Academic Library Seminar dan World Library Summit atas undangan dan biaya sepenuhnya ditanggung CONSAL. Begitu saya tiba di Bandara saya dijemput oleh salah seorang dari panitia. Dengan ramahnya sang penjemput menerima saya dan salah seorang rekan dari British Council. Kemudian kami diantar ke Hotel Carlton di Bras Basah Road, kira-kira 25 menit perjalanan taxi dari Bandara.

Sampai di hotel saya hanya istirahat sebentar. Kemudian teman dari BC mengajak jalan. Kami menuju National Library Board yang berdekatan dengan hotel dimana saya tinggal. Begitu masuk di pintu utama gedung perpustakaan itu kami dibuat terkagum-kagum. Pengunjung sudah diingatkan dengan library etiket. Peringatan tersebut digambar di lantai seperti switch off your handphones and pager, Speak softly at all time, Refrainn from having discussions in the library. Sedangkan yang berhubungan dengan bahan pustaka ada peringatan seperti Handle all library material with care, Return library materials to their original locations or sorting bins for the convinience of others, dan lain-lain. Masuk ke dalam makin dibuat terkagum-kagum. Kami sepertinya masuk ke supermarket. Padahal hari itu adalah hari Minggu. Disitu berkumpul anak-anak usia TK dan SD, remaja, sampai ke orang dewasa. Semua sibuk mencari bahan bacaan dan tentu saja membaca. Pengunjung perpustakaan juga disediakan keranjang seperti layaknya supermarket menyediakan keranjang buat calon pembeli. Apa artinya? Artinya, pengunjung perpustakaan memang diperbolehkan meminjam buku dalam jumlah yang banyak, bahkan mungkin tidak terbatas, sehingga diperkirakan akan kesulitan bila membawanya tanpa dibantu dengan keranjang. Semua koleksi dilayankan dengan terbuka. Tidak ada sistem layanan tertutup. Saya berpikir, inilah negara maju dan perpustakaannya yang modern. Hebat.

Saya juga melihat semua katalog sudah menggunakan komputer. Anak-anak kecil sampai orang dewasa tidak lagi canggung menggunakan peralatan canggih tersebut. Yang membuat saya kagum adalah bentuk meja OPACnya begitu khas dan menarik bagi siapapun yang melihat. Selain itu ada pojok informasi dimana disediakan komputer untuk informasi. Begitu efisien. Melihat salah satu sudut layanan, saya makin kagum lagi. Disitu pemakai perpustakaan bisa melakukan proses peminjaman dan pengembalian sendiri alias self service. “Gila”, kata saya saking kagumnya. Kapan bangsa saya bisa seperti ini.

Sorenya saya lanjutkan kunjungan saya ke Orchad Road. Tujuan utama saya sebenarnya adalah ke toko buku yang sangat besar yaitu Borders. Dalam perjalanan saya ke toko buku saya melewati trotoar yang sangat lebar sepanjang Orchad Road. Di sepanjang trotoar tersebut saya melihat banyak sekali tempat-tempat duduk, dimana banyak orang yang saya kira cukup berumur duduk-duduk disitu. Kontras sekali dengan yang saya lihat di perpustakaan tadi. Kemudian saya tanya kepada rekan perjalanan saya siapa kira-kira orang itu. Ternyata orang-orang yang duduk-duduk santai sambil makan makanan kecil itu adalah TKW. Ada yang dari Filipina, ada juga yang dari Indonesia. Tadinya saya ragu. Tapi secara tidak sengaja saya mendengar mereka berbicara dengan bahasa “Jawa”. Wah....benar juga cerita teman tadi. Dalam pikiran saya, seandainya orang-orang ini mau memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar atau membaca di perpustakaan, maka orang ini akan memperoleh dua manfaat datang ke negeri jiran ini. Selain mendapatkan uang atau penghasilan ia juga akan mendapatkan ilmu dan dapat memperluas wawasan. Tapi itulah bangsa kita yang memang tidak dididik untuk gemar membaca. Jangankan TKI, sarjana saja jarang membaca.

Singapore, 21 Maret 2002
Abdul Rahman Saleh

0 Comments:

Post a Comment

<< Home