Buletin Perpustakaan dan Informasi Bogor - opini

Thursday, March 01, 2007

Pustakawan malas menulis ?

Oleh: Irma Elvina
(Mahasiswa semester I PS Magister Teknologi Informasi untuk Perpustakaan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor)

Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration
Keberbakatan itu satu persen ilham dan sembilan puluh sembilan persen keringat
Thomas Alva Edison (1847-1931)


Pendahuluan

Sudah menjadi rahasia umum bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, rendahnya minat baca menjadikan budaya menulispun menjadi rendah pula. Menulis adalah aktivitas yang sangat penting dalam kelangsungan kerja, mulai dari membuat rencana kerja sampai kepada mendokumentasikan atau mendefinisiskan pekerjaan kita.

Bagi sebagian orang menulis adalah satu kegiatan yang sangat mengasyikkan, menuangkan pikiran, menceritakan pengalaman pribadi atau membuat karangan fiksi menjadi salah satu dasar mengapa aktifitas ini begitu digemari. Akan tetapi untuk mendapatkan waktu yang tepat untuk bermain-main aksara ini menjadi kendala yang cukup serius, terutama bagi mereka yang disibukkan oleh pekerjaan atau kesibukan sehari-hari.

Bagaimana dengan pustakawan, secara logika seorang pustakawan adalah seorang yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas karena sepanjang hidupnya bekerja di perpustakaan akan selalu bersinggungan dengan buku-buku dan tentu akan dengan mudah menulis dengan referensi buku-buku yang tersedia di perpustakaan tempatnya bekerja. Pada kenyataannya justru minat menulis pustakawan sangat rendah sekali. Apa yang yang sebenarnya terjadi dengan para pustakawan tersebut ?

Mengapa minat menulis pustakawan rendah ?

Pertanyaan di atas mempunyai jawaban yang beragam dan menurut hemat saya semuanya jawaban pertanyaan itu bermuara pada satu jawaban yaitu minat baca. Keadaan ini berimbas pada beberapa jurnal kepustakawanan yang terbit dan pernah terbit kekurangan bahan tulisan sehingga akhirnya tulisan muncul berasalal dari pengarang-pengarang itu-itu saja atau kadangkala tema yang ditulis seragam karena penulis yang produktif menulis lebih suka menulis dengan tema-tema tulisan yang dikuasainya.

Secara kualitas mutu sumberdaya manusia di perpustakaan meningkat, hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya kemampuan dan penguasaan para pustakawan akan teknologi informasi khususnya komputer, tetapi tetap saja penguasaan teknologi yang baik tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan menulis. Kemampuan menulis berhubungan dengan minat baca, seorang yang gemar membaca akan memiliki pengetahuan umum yang luas. Alm Andi Hakim Nasution (2002) mengatakan untuk menjadi seorang penulis yang baik seseorang harus memelihara tingkat pengetahuan dan pengalamannya caranya sederhana saja cukup dengan rajin membaca dan mempraktikan apa yang dibacanya sebagai kajian kemasyarakatan.

Kembali kepada masalah rendahnya minat menulis, perlu dicari akar permasalahan dan kemudian tentu saja solusinya.. Menurut pengamatan penulis selama ini ada beberapa hal yang menghambat para pustakawan untuk menulis yaitu:

(1) Para pustakawan waktunya habis tersita untuk mengerjakan pekerjaan rutinnya, sehingga tak ada waktu lagi untuk mengembangkan kemampuan dirinya, hal ini sejalan dengan fakta bahwa 92,5 % persen tenaga pustakawan Indonesia adalah pustakawan pekerja atau kelompok “prajurit” (Hernandono, 2005),

(2) Penguasaan Pustakawan Indonesia akan Teknologi Informasi dan bahasa asing lemah, padahal kedua hal tersebut merupakan salah satu jendela untuk mengembangkan wawasan,

(3)Minat baca para pustakawan itu sendiri sangat rendah, padahal minat baca mempengaruhi kemampuan pustakawan untuk menulis,

(4) Kemauan pustakawan untuk mengembangkan dirinya sendiri sangat kurang, dan cukup puas dengan apa yang telah dilakukannya selama ini,

Walaupun si pustakawan kutu buku tetapi tidak menjamin bahwa akan mampu menulis dengan baik , karena seperti perkataan dari Thomas Alva Edison di atas, bakat saja tidak cukup yang diperlukan adalah kerja keras. Pustakawan harus sering berlatih dan terus berlatih menulis karana tanpa latihan dan uasaha keras tidak akan didapat hasil yang maksimal.

Pustakawan sebenarnya memiliki modal yang kuat dalam mengembangkan budaya menulis, karena sarana untuk menulis telah tersedia yaitu buku-buku yang menjadi bagian dari hidupnya, yang selama tidak disadari merupakan harta karun bagi kekayaan intelektualnya, selanjutnya tinggal faktor kemauan dari pustakawan tersebut. Semoga para pustakawan tergugah untuk mengemabngakan potensi dirinya untuk menulis apa saja yang terlintas di benaknya dengan memafaatkan pengetahuan yang dimilikinya yang tentu saja dapat dipertanggung jawabkan.

Bahan Bacaan

Hernandono, 2005. Meretas kebuntuan kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi sumberdaya tenaga perpustakaan. Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Pustakawan Utama
Tahun 2005

Nasoetion, Andi Hakim, 2002. Pola induksi seorang eksperimentalis. Bogor. IPB Press.

Tuesday, October 03, 2006

Peran dan Kompetensi Pustakawan dalam Mendukung Terwujudnya Perguruan Tinggi Bertaraf Internasional

Oleh:
Rita Komalasari

ABSTRAK

Peran pustakawan, semakin berkembang dari waktu ke waktu. Kini pustakawan tidak hanya melayani sirkulasi buku, tapi dituntut untuk dapat memberikan informasi secara cepat, tepat, akurat dan efisien dari segi waktu dan biaya. Disamping itu, Pustakawan dituntut untuk mengembangkan kompetensi guna mendukung pelaksanaan program tridarma perguruan tinggi dan terwujudnya perguruan tinggi bertaraf internasional

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam menghadapi era globalisasi, tantangan yang dihadapi perguruan tinggi di Indonesia, semakin besar dan kompleks, baik yang ditimbulkan oleh dinamika internal maupun eksternal. Perguruan tinggi harus terus berupaya mewujudkan visi, misi dan tujuannya dengan tetap berpijak pada akar budaya yang ada.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perpustakaan adalah salah satu basis penyangga peradaban bangsa. Perkembangan jaman dan globalisasi telah memberikan dampak yang cukup positif terhadap aliran informasi. Agar tidak ketinggalan zaman dan bangsa ini menjadi lebih cerdas, mau tidak mau, perpustakaan sebagai gudang ilmu, sumber informasi harus dikelola dengan profesional agar mampu berkiprah di dunia internasional. Perpustakaan bagi perguruan tinggi/Institut/universitas/organisasi merupakan sarana penunjang yang sudah selayaknya diperhatikan dan ditangani dengan serius. Walaupun merupakan sarana penunjang, fungsi perpustakaan bagi perguruan tinggi/Institut/universitas/organisasi, sangatlah vital, seperti jantung di dalam tubuh manusia. Untuk membangun perpustakaan yang mampu bersinergi dengan perguruan tinggi dan sivitas akademikanya, dibutuhkan SDM dalam hal ini pustakawan yang profesional, yang memiliki etos kerja yang tinggi, jujur, berdedikasi, loyal serta mempunyai kemauan dan kemampuan untuk berkembang dan terus berupaya menimba ilmu sepanjang hayat.

PUSTAKAWAN

Pustakawan adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi dan informasi instansi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Pustakawan diartikan sebagai orang yang bergerak di bidang perpustakaan; ahli perpustakaan (tanpa membedakan PNS ataupun Non PNS). Jabatan Fungsional Pustakawan telah diakui eksistensinya dengan terbitnya Keputusan Menteri Negara Pendayaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18 tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka kreditnya. Kemudian dilengkapi dengan Surat Edaran Bersama (SEB) antara Kepala Perpustakaan Nasional RI dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 53649/MPK/1998 dan Nomor 15/SE/1998. Keputusan ini telah dua kali direvisi yaitu dengan terbitnya Keputusan Menpan Nomor 33 tahun 1988 dan terakhir Keputusan Menpan Nomor 132/Kep/M.PAN/12/2002.

KOMPETENSI

Kompetensi adalah kecakapan atau kemampuan. Konsep kemampuan mengandung suatu makna adanya semacam tenaga atau kekuatan yang dimiliki seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan atau perbuatan baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat mental. Pengertian ini menunjukkan pada adanya suatu kekuatan nyata yang dapat diperlihatkan seseorang melalui tindakan atau perbuatan, baik secara fisik maupun mental, yang umumnya diperoleh melalui latihan dan pendidikan. Dengan demikian hampir semua kemampuan diperoleh melalui latihan atau dipelajari. Dengan perkataan lain, kalau seseorang ingin memiliki kemampuan tertentu, ia dapat mempelajarinya. Kemampuan ini akan banyak membantu seseorang pada saat ia melaksanakan atau mengerjakan tugas tertentu. Kadang-kadang kemampuan secara fisik dan mental dapat muncul secara bersamaan pada saat mengerjakan suatu tugas (Klausmeier dan Goodwin), sedangkan arti kompetensi secara harfiah adalah kecakapan, kemampuan; wewenang (Kamus Inggris-indonesia). Definisi kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristk yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Terdapat bermacam-macam pendekatan mengenai model kompetensi. Salah satunya Competency-based HRM (manajemen SDM berdasarkan kompetensi). Intinya perilaku individu yang paling bagus kinerjanya dijadikan tolok ukur. Perilaku ini menjadi patokan baku yang menggerakkan program SDM untuk mengembangkan gugus kerja yang lebih efektif. Kompetensi ini diintegrasikan dalam sistem SDM. Pendekatan model kompetensi lainnya adalah pendekatan "organizational" yang berarti model kompetensi ditekankan dalam organisasi dengan tipe organisasi tertentu.

PERAN PUSTAKAWAN

Peran pustakawan selama ini membantu pengguna untuk mendapatkan informasi dengan cara mengarahkan agar pencarian informasi dapat efisien, efektif, tepat sasaran, serta tepat waktu. Dengan perkembangan teknologi informasi maka peran pustakawan lebih ditingkatkan sehingga dapat berfungsi sebagai mitra bagi para pencari informasi. Merujuk hal tersebut di atas, nampak kaitan yang erat antara pustakawan sebagai pengelola informasi dengan perannya dalam menunjang tridharma perguruan tinggi. Selain melakukan layanan sirkulasi, pengadaan dan pengolahan bahan pustaka, pustakawan juga harus mampu mengelola laporan administrasi; mengelola Web-OPAC, melakukan pelestarian dokumen (diantaranya mengolah dokumen menjadi bentuk digital); mengelola layanan pinjam antar perpustakaan (PAP); melakukan kontrol keamanan bahan pustaka; mengelola layanan multi media (CD/DVD/Audio kaset/sinar X dll.); mengelola dan mencetak barkod; mengelola keanggotaan pengguna, melakukan penyusunan anggaran; melakukan katalogisasi (pra dan pasca catalog); melakukan layanan SDI; melakukan konversi data; mengelola e-mail; membuat laporan; mengelola terbitan berseri dan melakukan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan teknologi informasi.. Dalam melakukan tugas kesehariannya, pustakawan dituntut bekerja secara profesional, jujur, berdedikasi tinggi, kreatif dan inovatif. Sebagai tolok ukur profesionalisme, semua bukti kegiatan seyogyanya dituangkan dalam lembar kinerja yang menggambarkan produktivitas dan kinerjanya dari waktu ke waktu, setiap hari, setiap minggu dan setiap bulannya.

PERGURUAN TINGGI BERTARAF INTERNASIONAL

Perguruan tinggi bertaraf internasional. Kata-kata itu sering didengungkan oleh pimpinan atau pejabat di lingkungan perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Sesungguhnya apa dan bagaimana sebuah perguruan tinggi dapat dikatakan bertaraf internasional? Berikut ini kutipan dari sambutan rektor IPB pada upacara wisuda tahap III tahun akademik 2004/2005 di Graha Widya Wisuda, Bogor. ” Suatu perguruan tinggi dapat disebut bertaraf internasional setidaknya harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya adalah: 1) jumlah dosen yang bergelar doktor harus lebih dari 75%, 2) persentase mahasiswa pascasarjana harus sama dengan atau lebih besar dari 75% dari total mahasiswa di perguruan tinggi tersebut, 3) publikasi internasional yang diterbitkan oleh setiap staf pengajar per tahun minimal dua publikasi di jurnal terakreditasi secara internasional, 4) besarnya dana untuk kegiatan riset untuk setiap staf > USD 1300 per tahun, 5) jumlah mahasiswa asing di perguruan tinggi tersebut minimal 5%, 6) Koneksi internet minimal 15 Mb dengan koneksi Wifi. Dengan kriteria tersebut maka jelas masih belum ada universitas di Indonesia yang dapat masuk kelas dunia”. Dari sambutan rektor IPB tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meraih visi perguruan tinggi bertaraf internasional amatlah berat, dibutuhkan kerja keras dari berbagai fihak. Kesungguhan dan perhatian pemerintah di bidang pendidikan juga sangat menentukan keberhasilan pencapaian visi tersebut. Sarana dan prasarana pendidikan harus dikelola dengan baik, termasuk perpustakaan yang dikelola oleh pustakawan profesional.

PERMASALAHAN
Meningkatnya kebutuhan pengguna akan informasi yang akurat, bernilai, relevan, dan tepat waktu akan menghadapkan profesi pustakawan pada tantangan yang semakin berat dan kompleks. Sampai saat ini masih banyak terdengar keluhan sulitnya mendapatkan informasi yang tepat, akurat, relevan, murah dan cepat. Hampir seluruh dosen dan atau pengguna menginginkan informasi yang dibutuhkannya dapat diperoleh dengan cepat, tepat, akurat dan efisien, baik dari segi waktu dan biaya. Tingkat kenyaman pengguna dalam menikmati layanan informasi juga masih belum terpenuhi. Semuanya ini merupakan tantangan yang perlu segera dipikirkan dan disiasati dengan model pembaharuan dalam etos kerja dan kinerja pustakawan ke arah yang lebih “proaktif dan inovatif”. Konsekuensi logis dari tuntutan pembaharuan tersebut adalah melakukan pembenahan yang menyeluruh (holistic). Pustakawan dituntut agar dapat mengeksplorasi cara baru guna mengembangkan produk yang dapat ditawarkan ke pengguna untuk memperoleh akses informasi serta meningkatkan kualitas layanan untuk kepentingan pengguna. Sudah tiba waktunya, pustakawan yang profesional menyediakan jasa layanan prima. Perpustakaan, dalam upayanya mendukung Perguruan tinggi yang bertaraf internasional, masih menghadapi kendala yang cukup kompleks dan beragam, mulai dari birokrasi yang rumit, SDM yang tidak profesional hingga pendanaan yang macet atau tersendat-sendat dalam setiap kegiatan pengembangan perpustakaan. Disamping permasalahan yang cukup kompleks tadi, hingga saat ini belum ada undang-undang mengenai sitem nasional perpustakaan.
Undang-undang yang berfungsi sebagai payung hukum yang mengikat pemerintah dan warganegara dalam menatalaksana perpustakaan di seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan sistem nasional. Sistem nasional perpustakaan yang berfungsi sebagai prasarana atau infrastruktur bagi pengelolaan dan wadah pendayagunaan seluruh sumber informasi untuk kepentingan masyarakat dalam rangka pembelajaran sepanjang hayat.

KOMPETENSI PUSTAKAWAN

Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang semakin berat dan kompleks, dalam mendukung terwujudnya perguruan tinggi bertaraf internasional, mau tidak mau pustakawan harus memiliki kompetensi profesional dan kompetensi pribadi. Dalam membangun kompetensi profesional, seorang pustakawan harus:

* Mengembangkan dan mengelola layanan informasi yang nyaman, mudah diakses, efektif dari segi biaya, yang sejalan dengan arahan strategis institusi/organisasi; Contoh:
Menyusun dan mengembangkan rencana strategis yang sesuai dengan tujuan institusi/organisasi. Memperhatikan kebutuhan dan mau mendengarkan aspirasi pengguna untuk terciptanya suasana belajar yang kondusif dan nyaman.

* Memiliki keahlian tentang isi sumber-sumber informasi, termasuk kemampuan untuk mengevaluasi secara kristis dan menyaringnya; Contoh: Memantau perkembangan informasi global, memilih, menyaring dan mampu menyeleksi informasi yang relevan dan up to date bagi kepentingan pengguna.

* Memiliki pengetahuan/ketrampilan khusus dalam bidang tertentu, sesuai dengan kepentingan institusi/organisasi; Contoh: Pustakawan harus berani mengambil kursus/pelatihan di bidang Pusdokinfo, manajemen, atau subyek lain yang berkaitan dengan institusi atau organisasi tempat mereka bekerja.

* Menyediakan pengajaran dan dukungan yang baik untuk pemakai perpustakaan dan layanan informasi; Contoh: Memberikan informasi tentang penggunaan fasilitas perpustakaan dengan baik (user education), membuka layanan informasi dan menjalin komunikasi dengan pengguna Menyediakan bantuan dan referensi secara on-line.

* Menilai kebutuhan pemakai, merancang serta memasarkan produk dan layanan informasi bernilai tambah untuk memenuhi kebutuhan tersebut; Contoh: Melakukan penilaian kebutuhan secara. Rutin, menggunakan instrumen penelitian seperti kuesioner, wawancara dengan pengguna dan narasumber.

* Menggunakan teknologi informasi yang tepat untuk pengadaan, pengolahan, dan penyebaran informasi; Contoh: Membuat katalog koleksi perpustakaan secara on-line (OPAC). Menghubungkan penelusuran katalog dengan layanan pengiriman dokumen. Bekerja sama dengan tim manajemen informasi untuk memilih piranti lunak dan piranti keras yang tepat untuk akses komputer ke katalog perpustakaan dan pangkalan data lainnya.

* Mengembangkan produk informasi khusus untuk penggunaan di dalam atau di luar institusi/organisasi atau pengguna secara perorangan; Contoh: Membuat pangkalan data dokumen internal seperti laporan, panduan teknis atau bahan-bahan yang digunakan untuk proyek-proyek khusus. Membuat agar file dokumen lengkap mudah ditelusur. Menyediakan panduan teknis on-line. Membuat situs dalam jaringan. Web institusi/organisasi dan menghubungkannya dengan situs lain dalam internet. Berpartisipasi dalam kegiatan manajemen untuk menciptakan, menangkap, mempertukarkan, menggunakan, dan mengkomunikasikan modal intelektual institusi/organisasi

* Secara terus menerus memperbaiki layanan informasi untuk merespon perubahan kebutuhan pemakai; Contoh: Memantau arah gejala industri dan penyebaran informasi untuk orang-orang penting dalam institusi/organisasi atau klien secara perorangan. Memfokuskan kembali layanan informasi sesuai kebutuhan baru dalam bisnis. Melakukan pengiriman dokumen tepat waktu untuk mencapai fleksibilitas maksimal.
Dalam membangun kompetensi pribadi, seorang pustakawan harus:

* Memiliki pandangan jauh dan luas ke depan; Contoh: Memahami bahwa pencarian informasi dan penggunaannya sebagai bagian dari proses kreatif bagi individu dan organisasi. Memandang perpustakaan dan layanan informasi sebagai bagian dari sebuah proses lebih besar dalam membuat keputusan. Memantau arah gejala bisnis utama dan peristiwa-perjstiwa internasional. Mengantisipasi arah gejala dan secara proaktif mengatur kembali perpustakaan dan layanan informasi untuk mengambil manfaat daripadanya.

* Melayani pengguna dengan baik, santun dan ramah; Contoh: Mencari umpan balik kinerja dan menggunakannya untuk perbaikan secara terus menerus. Melakukan kajian pemakai secara rutin. Berbagi pengetahuan baru dengan orang lain dalam konferensi atau literatur profesional. Tetap bersikap santun dan ramah kepada pengguna walau, dalam kondisi yang melelahkan.

* Mencari tantangan dan melihat peluang baru, baik di dalam maupun di luar perpustakaan; Contoh: Ambil kompetensi baru dalam organisasi yang memerlukan seorang pemimpin informasi. Gunakan pengetahuan dan keahlian perpustakaan untuk memecahkan berbagai masalah-masalah informasi dalam arti luas. Ciptakan perpustakaan tanpa dinding (perpustakaan digital atau perpustakaan virtual)

* Bekerja sama dan beraliansi; Contoh: Menjalin aliansi dengan profesional sistem informasi manajemen. Membangun kerja sama dengan perpustakaan atau layanan informasi lain, baik di dalam maupun di luar organisasi untuk mengoptimalkan resource sharing. Menjalin aliansi dengan pemilik pangkalan data dan penyedia informasi lain untuk meningkatkan produk dan layanan. Menjalin aliansi dengan peneliti fakultas ilmu perpustakaan dan informasi untuk melakukan kajian-kajian yang terkait.
* Menciptakan lingkungan yang saling mempercayai dan saling menghargai; Contoh:
Menghargai kelebihan dan kemampuan orang lain. Mengenali kekuatan sendiri dan kekuatan orang lain dengan seimbang. Membantu orang lain untuk mengoptimalkan kontribusi mereka.

* Memiliki keahlian berkomunikasi yang efektif; Contoh: Mempresentasikan gagasan secara jelas dan antusias. Menulis teks secara jelas dan mudah dimengerti. Menggunakan bahasa yang umum. Meminta umpan balik dalam keahlian berkomunikasi dan menggunakannya untuk perbaikan diri.

* Bekerja dengan baik dengan sesama anggota tim; Contoh: Mempelajari kebijaksanaan tim dan mencari peluang untuk partisipasi tim: Ambil tanggung jawab dalam tim, baik di dalam maupun di luar perpustakaan. Membimbing anggota tim lainnya. Meminta bimbingan dari anggota tim lain bila diperlukan.

* Mempunyai sifat pemimpin; Contoh: Mempelajari dan mengembangkan kualitas seorang pemimpin yang baik dan mengetahui cara untuk melatih kepemimpinan tersebut. Dapat membagi kompetensi kepemimpinan dengan yang lain dan memberikan kesempatan orang lain untuk berkompetensi sebagai pemimpin.

* Belajar terus menerus dan mempunyai perencanaan karir pribadi. Contoh: Meniti karir dengan belajar secara terus menerus dan mengembangkan pengetahuan. Memiliki tanggung jawab pribadi untuk perencanaan karir jangka panjang dan mencari kesempatan untuk belajar dan memperkaya ilmu.

* Memahami nilai solidaritas dan jaringan profesional; Contoh: Berkompetensi aktif dalam asosiasi Pustakawan dan asosiasi profesional lainnya. Menggunakan peluang ini untuk berbagi pengetahuan dan keahlian, untuk studi banding dengan penyedia layanan informasi lainnya, membentuk kemitraan dan aliansi.

* Bersifat fleksibel dan positif menghadapi perubahan terus menerus; Contoh: Dapat menerima tanggung jawab yang berbeda dalam waktu yang berbeda pula dan merespon kebutuhan akan perubahan. Memelihara sifat positif dan membantu orang lain untuk melakukan hal yang sama. Menolong orang lain untuk mengembangkan gagasan mereka dengan cara menyediakan informasi yang benar.

SOLUSI

Dengan membagun/mengembangkan kompetensi profesional dan kompetensi pribadi, pustakawan diharapkan mampu menjadi mitra sejati bagi para dosen dalam mengembangkan karirnya menuju tingkat akademis yang lebih tinggi (tingkat doctoral), disamping itu, pustakawan juga harus proaktif mencarikan solusi bagi dosen yang ingin membuat artikel/tulisan di jurnal internasional, dengan cara membantu menyediakan bahan pustaka yang diperlukan dalam penulisan artikel tersebut. Untuk meraih perguruan tinggi bertaraf internasional tentunya harus ada kerjasama yang harmonis antara pemerintah dan institusi terkait, dalam hal ini pendanaan untuk penelitian berstandar internasional (USD 1300 per tahun) harus direalisasikan. Peningkatan SDM pengajar diharapkan juga mampu membuka peluang pengembangan program-studi pasca dari berbagai disiplin ilmu, sehingga minat masyarakat untuk meneruskan kuliah pasca sarjana semakin meningkat. Sarana dan prasarana pendidikan (termasuk perpustakaan), harus benar-benar diperhatikan dengan serius, karena hal ini juga menjadi modal dan daya tarik bagi calon mahasiswa (terutama untuk menarik minat mahasiswa asing). Kerjasama yang baik antara perguruan tinggi di dalam dan luar negeri juga harus terjalin dengan erat. Dengan adanya program pertukaran mahasiswa, membuka peluang dan kesempatan bertukar pengalaman, wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa. Program pertukaran mahasiswa dalam dan luar negeri, dapat meningkatkan statistik mahasiswa asing yang belajar di perguruan tinggi di dalam negeri. Satu hal yang patut diperhatikan dan menjadi dasar keberhasilan pembangunan adalah kesejahteraan. Kesejahteraan dari staf pengajar (dosen) dan staf penunjang (pustakawan) harus benar-benar ditingkatkan. Karena tidak dapat dipungkiri tingkat kesejahteraan menjadi salah satu faktor penetu dalam bekerja dan berkarya. Kesemuanya itu seperti rantai yang saling terkait satu sama lainnya, keberhasilan pencapaian visi harus ditunjang oleh berbagai fihak disertai dengan kemauan dan kesungguhan dalam pelaksanaanya.

KESIMPULAN

Dengan adanya keselarasan semua unsur tadi (profesionalisme SDM, sarana dan prasarana yang moderen, pendanaan yang cukup disertai kesejahteraan yang memadai) dapat diyakini, visi perguruan tinggi mencapai taraf internasional akan tercapai. Kompetensi pustakawan jika dibangun dan diasah dengan baik, maka akan dapat membantu mewujudkan Perguruan tinggi bertaraf internasional. Memang tidak mudah, meraih semua itu, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semuanya harus diusahakan dan diperjuangkan, dibutuhkan waktu dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk mewujudkan visi perguruan tinggi melalui kompetensi dan peran pustakawan. Iklim sosial politik dan kesungguhan Pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pemebelajaran sepanjang hayat perlu ditingkatkan. Sarana dan prasarana pendidikan, salah satunya perpustakaan harus dibenahi dari segenap aspek. SDM perpustakaan/pustakawan dituntut memiliki pandangan jauh ke masa depan, namun tetap berpijak pada akar budaya yang ada. Pustakawan harus mampu menjembantani peradaban di masa lampau, masa kini dan masa mendatang Tantangan yang digambarkan oleh kompetensi ini harus diraih dan dilakukan saat ini agar visi menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional dapat tercapai dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
SARAN
Agar peran pustakawan dalam membantu mewujudkan visi perguruan tinggi dapat tercapai sesuai dengan waktu yang telah ditargetkan, dibutuhkan kerjasama yang harmonis, terarah dan terpadu dari berbagai fihak, mulai dari pucuk pimpinan hingga bawahan (grass root). Diperlukan perjuangan dengan segenap upaya untuk memperbaiki kekurangan dan kelemahan yang ada. Peran dan kompetensi pustakawan harus lebih ditingkatkan dengan memperhatikan kepentingan pengguna dan terus mengikuti perkembangan zaman. Upaya-upaya yang perlu dilakukan yaitu:
Penerapan disiplin yang tinggi, dimulai dengan sistim kehadiran. Sudah waktunya staf pengajar dan staf penunjang menerapkan sitim kehadiran dengan menggunakan komputer dan atau finger print. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kedisiplinan staf;
Seyogyanya, dalam melaksanakan kegiatan, ada deskripsi kerja yang jelas (Tupoksi: tugas pokok dan fungsi). Hal ini penting agar setiap individu dapat melaksanakan kegiatan kerja secara terarah, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya;
Perbaikan pendidikan (formal maupun non formal). Program ini penting dijalankan untuk meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan keterampilan pegawai dalam menjalankan tugasnya. Perbaikan pendidikan juga sangat mendukung perbaikan kinerja yang pada akhirnya dapat membantu perguruan tinggi dalam mewujudkan visinya;
Political will pemerintah untuk menginternasionalkan Perguruan Tinggi Indonesia harus ditunjang dengan perangkat/peraturan pemerintah yang mendukung segenap aspek (ketersediaan dana, kemudahan pertukaran mahasiswa dalam dan luar negeri, perundang-undangan perpustakaan, SDM yang professional dan jujur);
Perlunya dilakukan pemetaan dan analisis terhadap program-program yang sedang berjalan dan akan dikembangkan, hal ini penting sebagai dasar penetuan kebijakan yang akan diambil;
Adanya standar prosedur kegiatan (Standard Operation Procedur) di setiap unit/badan/lembaga/organisasi/institusi. Hal ini penting agar setiap kegiatan mempunyai arah dan tujuan yang jelas;
Terciptanya suasana kerja yang kondusif. Hal ini penting demi terciptanya suasana kerja yang nyaman, sehingga diharapkan kinerja dan produktifitas pegawai dapat lebih baik lagi;
Perlunya meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual (Emotional and spiritual quotient). Hal ini penting untuk membentuk pribadi-pribadi yang tangguh, jujur, disiplin, loyal, penuh dedikasi dan berjiwa sosial tinggi. Pribadi seperti itulah yang dapat menjadi modal dasar dalam mewujudkan visi perguruan tinggi yaitu mencapai taraf internasional, namun tetap memiliki kepribadian Indonesia yang luhur;
Perhatian terhadap perpustakaan harus ditingkatkan, dengan menerbitkan Undang-undang tentang sistem nasional perpustakaan Indonesia, Undang-undang ini penting dan dapat berfungsi sebagai payung pelindung dan pengikat pemerintah dan masyarakat demi terwujudnya masyarakat yang cerdas dan berkebudayaan;
Pembentukan Dewan Perpustakaan yang akan mengarahkan pembinaan, pembangunan dan pengembangan perpustakaan di Indonesia
Kesejahteraan staf pengajar dan pustakawan, selayaknya diperhatikan dengan serius dan berpijak pada unsur keadilan, sehingga terjadi hubungan kerja yang harmonis antara dosen dan pustakawan;
Seyogyanya saran-saran di atas, diaktualisaikan dan diaplikasikan secara bertahap, berkesinambungan, arif dan bijaksana. Sehingga tujuan dan cita-cita bersama yaitu mewujudkan perguruan tinggi bertaraf internasional dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta : Gramedia. 2000.

Indonesia. Perpustakaan Nasional. http://www.pnri.go.id/. Diakses tanggal 23 Maret 2006.

Indonesia. Perpustakaan Nasional. Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya. Perpustakaan Nasional RI. 2004.

Institut Pertanian Bogor. http://www.iel.ipb.ac.id. Diakses 23 Maret. 2006.
Klausmeier, J. Herbert and William Goodwin. Learning and Human Abilities, Educational Physiology. 4th ed. New York: Harper and Row Publisher. 1975

Komalasari, Rita. Membangun Sumber Daya Manusia IPB di Era Otonomi Untuk mencapai Visi dan Misi IPB. UPT Perpustakaan. Institut pertanian Bogor. 2001.

Lien, Diao Ai. Peranan Perpustakaan dalam Meningkatkan Daya saing Perguruan Tinggi. Kerjasama Forum PPTI-Perpustakaan Nasional RI-Universitas Tarumanegara. 2002

Marshall, Joane; Linda Moulton; Roberta Piccoli. Kompetensi Pustakawan khusus di Abad ke-21. BACA. Jurnal Dokumentasi dan Informasi vol. 27 (2), 2003.

Perpustakaan Nasional RI. Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Perpustakaan, 2006.

Susanto, A.B. COMPETENCY-BASED HRM. Bisnis Indonesia. http://www.jakartaconsulting.com/extra_corner_archive12.shtml. diakses 3 April 2006.

Tuesday, August 22, 2006

CATATAN DARI PEMILIHAN PUSTAKAWAN TELADAN

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.1)

Pemilihan pustakawan teladan tahun 2006 sudah berlalu. Telah terpilih enam pustakawan teladan dari 28 peserta wakil 28 provinsi dengan urutan Pustakawan Teladan tingkat pertama, kedua dan ketiga, serta pustakawan teladan harapan satu, dua dan tiga. Terlepas dari ada yang merasa puas dan ada pula yang tidak puas, maka kita harus bisa menerima keputusan tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya sebagai salah seorang juri.

Pertama, calon pustakawan teladan yang dikirim oleh provinsi mempunyai kemampuan yang sangat heterogen baik kemampuan pengetahuan umumnya (melalui ujian tertulis) maupun kemampuan interviewnya. Beberapa calon sepertinya tidak dipilih dengan baik di tingkat provinsi, bahkan saya ”curiga” ada calon yang hanya ditunjuk saja oleh perpustakaan provinsi.

Kedua, pemilihan di tingkat provinsi sepertinya dilakukan dengan sangat tergesa-gesa. Mungkin waktu yang diberikan oleh Perpustakaan Nasional tidak cukup banyak untuk melakukan pemilihan dengan baik.

Ketiga, calon yang dikirim tidak diberi ”bekal” setidak-tidaknya pengetahuan umum mengenai kepustakawanan Indonesia.

Keempat, semua calon yang dikirim adalah pustakawan PNS atau pustakawan fungsional versi Kepmenpan. Ini menimbulkan pertanyaan, mengapa perpustakaan non pemerintah tidak berpartisipasi? Apakah mereka tidak tahu, atau tidak diberi tahu? Kita tahu banyak pustakawan non pemerintah yang sangat berdedikasi dan memiliki integritas tinggi terhadap kepustakawanan Indonesia. Atau mungkin saja banyak pustakawan yang ”takut” untuk mendapatkan predikat teladan. Sekali mereka disebut teladan, maka ia akan merasa terbebani seumur hidupnya.

Kelima, saya merasa bahwa sistem pencalonan satu provinsi satu calon terasa agak kurang ”adil”. Provinsi yang kaya pustakawan seperti DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur mempunyai jatah yang sama dengan provinsi yang jumlah pustakawannya sangat sedikit seperti Papua, Banten, Maluku Utara dan lain-lain.

Berdasarkan beberapa catatan ini, saya ingin mengusulkan beberapa hal untuk memperbaiki pemilihan pustakawan teladan dimasa datang. Pertama, sebaiknya menggunakan nama PEMILIHAN PUSTAKAWAN BERPRESTASI.

Kedua, pelaksanaan pemilihan dilakukan dengan waktu yang cukup lama, setidak-tidaknya enam bulan sebelum pemilihan tingkat nasional, pemilihan di tingkat provinsi harus sudah dilakukan.

Ketiga, untuk menjamin keadilan, maka jumlah peserta dari masing-masing provinsi perlu diatur dengan sistem kuota (misalnya berdasarkan jumlah pustakawan di provinsi yang bersangkutan). Provinsi yang memiliki jumlah pustakawan banyak, memiliki jatah yang lebih banyak dibandingkan dengan provinsi yang memiliki jumlah pustakawan sedikit. Ilustrasinya demikian, misalnya Provinsi DKI memiliki pustakawan dengan jumlah 1.500 orang, sedangkan Provinsi Banten hanya memiliki 500 orang. Jika kuota didasarkan kepada jumlah 500 orang pustakawan (wakil calon pustakawan teladan tingkat nasional yang pertama tetap dapat dikirim walaupun jumlah pustakawan di provinsi tersebut kurang dari 500 orang, namun provinsi tersebut dapat menambah jumlah 1 orang wakil setiap kelipatan 500 orang pustakawan), maka provinsi DKI dapat mengirimkan 3 orang calon, sedangkan Provinsi Banten akan mengirimkan 1 orang calon. Jika ada Provinsi yang memiliki jumlah pustakawan kurang dari 500 orang, maka provinsi tersebut tetap dapat mengirimkan wakilnya sebanyak 1 orang (misalnya saja Provinsi Bangka Belitung hanya memiliki tidak lebih dari 50 orang pustakawan). Untuk itu panitia harus segera menentukan kuota masing-masing provinsi sehingga provinsi yang bersangkutan segera melakukan pemilihan dengan waktu seleksi yang cukup lama. Pemilihan tingkat provinsi sebaiknya ditekankan kepada integritas dan loyalitas (dan mungkin kreatifitas calon) terhadap profesi pustakawan. Misalnya saja, aktifitas calon dalam organisasi profesi (IPI, Forum, atau organisasi lain yang berbasis pustakawan), aktifitas calon dalam menggerakkan minat dan kegemaran membaca (misalnya pembinaan dan pengembangan perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat dan lain-lain), aktifitas calon dalam membina dan mengembangkan publikasi bidang kepustakawanan (seperti keikutsertaan calon dalam suatu penerbitan jurnal perpustakaan, produktifitas yang bersangkutan dalam menulis dan mempublikasikan tulisannya), kreatifitas calon menyangkut ide-ide atau karya-karya yang telah dihasilkan dalam bidang kepustakawanan. Semua hasil penilaian tersebut harus disertai dengan bukti-bukti dan dikirimkan ke panitia tingkat Nasional. Pemilihan di tingkat nasional lebih ditekankan kepada sikap, wawasan, dan visi masa depan, tentu saja kemampuan kognitif peserta.

Keempat, Calon pustakawan teladan sebaiknya tidak hanya dibatasi untuk pustakawan PNS saja. Oleh karena itu, syarat calon tidak hanya dibatasi hanya pustakawan yang memiliki jabatan fungsional. Sosialisasi penyelenggaraan pemilihan pustakawan berprestasi ini harus dibuat terbuka dan menggunakan media yang lebih terbuka. Tidak hanya diumumkan melalui Perpustakaan Provinsi. Dengan demikian maka setiap perpustakaan dapat menyiapkan calonnya lebih dini dan jumlah yang ikut seleksi tingkat provinsi akan lebih banyak. Bukankah memilih dari jumlah yang banyak akan lebih baik dibandingkan dengan memilih dari yang sedikit.

Kelima, sebaiknya perpustakaan provinsi ”menyiapkan” wakilnya sebagai calon pustakawan berprestasi tingkat nasional dengan memberikan ”pembekalan”. Dengan demikian wakil provinsi itu akan mampu menjawab pertanyaan dengan ”sempurna” baik pertanyaan yang berasal dari juri, maupun yang berasal dari publik. Bukankah sangat ”memalukan” seandainya seorang calon pustakawan berprestasi itu tidak bisa menjawab pertanyaan di depan publik, apalagi jika wawancara publik ini disiarkan oleh media massa.

1) Pustakawan Madya di Perpustakaan IPB dan anggota juri Pemilihan Pustakawan Teladan Tingkat Nasional tahun 2006

Monday, July 31, 2006

PEMBINAAN MINAT DAN BUDAYA MEMBACA DI PROVINSI RIAU

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.


Pendahuluan

Budaya baca merupakan persyaratan yang sangat penting dan mendasar yang harus dimiliki oleh setiap warganegara apabila kita ingin menjadi bangsa yang maju. Melalui budaya baca, mutu pendidikan dapat ditingkatkan sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Jadi membaca merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan kreativitas dan dalam mengembangkan IPTEK diperlukan kreativitas yang tinggi. Bila kita tidak ingin menjadi konsumen IPTEK yang dikembangkan oleh negara-negara maju, maka kita harus melakukan usaha-usaha untuk mendorong masyarakat menjadikan membaca sebagai kebutuhan sehari-hari.
Sesungguhnya sejak tahun 1972 UNESCO telah memprioritaskan masalah pembinaan minat baca. Pada tahun tersebut diluncurkan program yang disebut dengan program buku untuk semua (books for all), yang bertujuan untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Salah satu implementasi program ini adalah dicanangkan International Book Year 1972 (Tahun Buku Internasional 1972).
Minat baca atau gemar membaca sangat dituntut oleh semua pihak untuk dikembangkan. Pemerintah Republik Indonesia bahkan menganggapnya sebagai strategi mendasar yang sangat penting untuk membangun bangsa. Ini terbukti dan tertuang dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam undang-undang nomor 2 tahun 1989, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk mencapai tujuan tersebut kebiasaan membaca perlu ditanamkan pada setiap warga negara pada umumnya dan pada anak-anak didik pada khususnya.

Definisi

Minat baca memang belum didefinisikan secara tegas dan jelas. Namun Prof. A. Suhaenah Suparno dari IKIP Jakarta memberi petunjuk mengenai hal ini yaitu tinggi rendahnya minat baca seseorang seharusnya diukur berdasarkan frekuensi dan jumlah bacaan yang dibacanya. Namun perlu ditegaskan bahwa bacaan itu bukan merupakan bacaan wajib. Misalnya bagi pelajar, bukan buku pelajaran sekolah. Jadi seharusnya diukur dari frekuensi dan jumlah bacaan yang dibaca dari jenis bacaan tambahan untuk berbagai keperluan misalnya menambah pengetahuan umum.
Minat dalam kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti kegemaran, kesukaan atau kecenderungan. Bila minat tersebut dihubungkan dengan membaca, maka ada semacam usaha secara intensif terhadap penggunaan media tertulis untuk pemenuhan informasinya. Proses tersebut berawal dari seseorang mempunyai:
· Kebutuhan pokok terhadap terhadap informasi baik untuk membaca maupun untuk belajar
· Merespon dan mengkomunikasikan makna didalamnya (tersurat, tersirat atau pemahaman utuh)
· Membentuk tingkat pengetahuan, dan akhirnya
· Mempunyai sikap positif bahwa bacaan adalah bagian dari kehidupan.

Permasalahan dan Upaya yang Dapat Dilakukan

Faktor-faktor berikut ditengarai menghambat peningkatan minat baca dalam masyarakat dewasa ini (Leonhardt, 1997):
1. Langkanya keberadaan buku-buku anak yang menarik terbitan dalam negeri
2. Semakin jarangnya bimbingan orang tua yang suka mendongeng sebelum tidur bagi anak-anak. Padahal kebiasaan ini merupakan kebiasaanya jaman dulu banyak dilakukan orang tua.
3. Pengaruh televisi yang bukannya mendorong anak-anak untuk membaca, tetapi lebih betah menonton acara-acara televisi.
4. Harga buku yang semakin tidak terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat
5. Kurang tersedianya taman-taman bacaan yang gratis dengan koleksi buku yang lengkap dan menarik.

Untuk menaggulangi permasalahan tersebut Gubernur Provinsi Riau turun tangan dan mencanangkan gerakan hibah sejuta buku. Dalam gerakan ini pemerintah provinsi menyediakan kotak-kotak untuk menampung sumbangan buku dari masyarakat (book drop box). Kotak-kotak ini diletakkan di pusat-pusat keramaian seperti swalayan, bank, kantor-kantor layanan publik, pasar dan lain-lain. Masyarakat dihimbau untuk menyumbangkan buku yang sudah tidak dipakai lagi namun masih layak pakai dengan cara memasukkannya dalam kotak-kotak yang tersedia.
Gerakan ini mendapatkan dukungan dari DPRD Riau, Penggerak PKK Provinsi Riau (yang memiliki rumah baca), Harian Riau Pos, dan yayasan Seni Bandar Serai (memiliki kampung baca). Pada kesempatan pencanangan tersebut Gubernur Riau, Ketua DPRD Provinsi Riau, Ketua Penggerak Provinsi Riau, Pimpinan harian Riau Pos serta Ketua Yayasan Bandar Serai menyumbangkan sejumlah buku yang menandai dimulainya gerahan hibah sejuta buku tersebut. Gubernur juga meminta kepada setiap pejabat Provinsi Riau yang berkesempatan bertugas ke luar kota diwajibkan untuk menyumbangkan dua buah buku sebagai oleh-oleh. Buku-buku tersebut (termasuk yang dikumpulkan melalui book drop box) kemudian dikumpulkan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Riau untuk kemudian didistribusikan ke Taman-taman Bacaan diseluruh provinsi Riau. Saat ini diperkirakan ada ratusan taman bacaan yang tumbuh di pelosok-pelosok kota maupun desa di Provinsi Riau.
Pemerintah Provinsi Riau mentargetkan hibah sejuta buku ini dicapai dalam lima tahun. Semangat untuk mengumpulkan buku ini didorong oleh banyaknya anak-anak di daerah yang jarang membaca karena ketiadaan bahan bacaan. Kegiatan hibah sejuta buku ini merupakan sebuah langkah kongkret untuk mengubah wajah pendidikan Riau lebih baik lagi di masa depan.

Penutup

Dengan memahami kedua usaha yang mendasar dalam meningkatkan minat baca tersebut sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa dua hal yang paling penting dalam usaha menanamkan dan menumbuhkan minat baca adalah menyangkut pengadaan sarana yang menyediakan sumber-sumber informasi. Selain itu perlu ada usaha-usaha dari berbagai pihak dalam mendorong masyarakat untuk membaca secara berkesinambungan.
Menyadari pentingnya usaha-usaha seperti yang disebut di atas, sekali-gus memahami bahwa pelaksanaan usaha tersebut tidak mudah dan menuntut perencanaan dan pelaksanaan yang lama, maka kiranya usaha tersebut perlu secara terus menerus diupayakan oleh berbagai piha. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau ini perlu diteladani guna menciptakan iklim pendidikan yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Djazuli, A. Promosi Membaca di Lingkungan Lembaga Pendidikan Formal. Seminar Nasional Promosi Gemar Membaca, Jakarta 30 Mei – 1 Juni 1994.

Hibah Sejuta Buku Dimulai. Harian Riau Pos, Selasa 25 Juli 2006.

Saleh, Abdul Rahman dkk (1997). Penelitian Minat Baca Masyarakat di Jawa Timur. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Saleh, Abdul Rahman dkk (1996). Penelitian Minat Baca Masyarakat di Pulau Batam. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Thursday, June 29, 2006

PENINGKATAN BUDAYA GEMAR MEMBACA [1]

Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.[2]
rahman@ipb.ac.id atau ar-saleh@plasa.com

1. Pendahuluan
Budaya baca merupakan persyaratan yang sangat penting dan mendasar yang harus dimiliki oleh setiap warganegara apabila kita ingin menjadi bangsa yang maju. Melalui budaya baca, mutu pendidikan dapat ditingkatkan sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Jadi membaca merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan kreativitas dan dalam mengembangkan IPTEK diperlukan kreativitas yang tinggi. Bila kita tidak ingin menjadi konsumen IPTEK yang dikembangkan oleh negara-negara maju, maka kita harus melakukan usaha-usaha untuk mendorong masyarakat menjadikan membaca sebagai kebutuhan sehari-hari.
Sesungguhnya sejak tahun 1972 UNESCO telah memprioritaskan masalah pembinaan minat baca. Pada tahun tersebut diluncurkan program yang disebut dengan program buku untuk semua (books for all), yang bertujuan untuk meningkatkan minat dan budaya baca masyarakat. Salah satu implementasi program ini adalah dicanangkan International Book Year 1972 (Tahun Buku Internasional 1972).
Minat baca atau gemar membaca sangat dituntut oleh semua pihak untuk dikembangkan. Pemerintah Republik Indonesia bahkan menganggapnya sebagai strategi mendasar yang sangat penting untuk membangun bangsa. Ini terbukti dan tertuang dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam undang-undang nomor 2 tahun 1989, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk mencapai tujuan tersebut kebiasaan membaca perlu ditanamkan pada setiap warga negara pada umumnya dan pada anak-anak didik pada khususnya.


2. Definisi
Minat baca memang belum didefinisikan secara tegas dan jelas. Namun Prof. A. Suhaenah Suparno dari IKIP Jakarta memberi petunjuk mengenai hal ini yaitu tinggi rendahnya minat baca seseorang seharusnya diukur berdasarkan frekuensi dan jumlah bacaan yang dibacanya. Namun perlu ditegaskan bahwa bacaan itu bukan merupakan bacaan wajib. Misalnya bagi pelajar, bukan buku pelajaran sekolah. Jadi seharusnya diukur dari frekuensi dan jumlah bacaan yang dibaca dari jenis bacaan tambahan untuk berbagai keperluan misalnya menambah pengetahuan umum.
Minat dalam kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti kegemaran, kesukaan atau kecenderungan. Bila minat tersebut dihubungkan dengan membaca, maka ada semacam usaha secara intensif terhadap penggunaan media tertulis untuk pemenuhan informasinya. Proses tersebut berawal dari seseorang mempunyai:

  • Kebutuhan pokok terhadap terhadap informasi baik untuk membaca maupun untuk belajar
  • Merespon dan mengkomunikasikan makna didalamnya (tersurat, tersirat atau pemahaman utuh)
  • Membentuk tingkat pengetahuan, dan akhirnya
  • Mempunyai sikap positif bahwa bacaan adalah bagian dari kehidupan.

3. Issu yang Berkaitan dengan Gemar Membaca
3.1 Ketidak-mampuan Membaca (Buta Aksara)
Data dari UNESCO menyatakan bahwa sekitar 1,35 milyar penduduk dunia atau sekitar sepertiga penduduk dunia mengalami buta aksara. Sebagian besar buta aksara tersebut dialami oleh wanita atau 1 : 2 antara pria buta aksara dengan wanita. Sebagian besar penduduk buta aksara tersebut adalah penduduk negara dunia ketiga.
Hingga kini, jumlah penduduk Indonesia buta aksara tergolong masih relatif tinggi. Setelah hampir 60 tahun merdeka, pemberantasan buta huruf masih juga belum tuntas. Data Badan Pusat Statistik 2003 menunjukkan, penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas masih tercatat 9,07 persen atau sekitar 15,5 juta, tersebar di seluruh provinsi (Republika Online, 17 Desember 2004).
Mengapa hingga kini jumlah penduduk buta aksara masih tinggi? Direktur Pendidikan Masyarakat, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Depdiknas, Ekodjatmiko Soekarso, mengungkapkan sejumlah pangkal soalnya. Dia menyatakan, dalam setiap tahun masih terus terjadi adanya siswa usia sekolah dasar yang tidak sekolah atau tidak tertampung di SD kelas 1, 2, dan 3 sekitar 200.000 - 300.000 orang yang disinyalir kembali buta aksara.
3.2 Kondisi Pendidikan di Indonesia
Data Jumlah Sekolah menurut Depdiknas pada tahun 1996/1997 adalah sebagai berikut: 173.898 Sekolah SD dengan jumlah 29.236.933 siswa dan 1.327.933 guru, 30.424 Sekolah tingkat SMP dengan jumlah 9.282.861 siswa dan 588.788 guru, 15.744 sekolah tingkat SLTA dengan jumlah 5.013.808 siswa dan 409.812 guru, 1.667 PT dengan 2.703.896 mahasiswa dan 180.471 dosen.
Namun tidak semua penduduk usia sekolah beruntung menjadi siswa/mahasiswa. Jumlah yang beruntung tersebut hanya 61,2 % untuk usia SD (7 – 12 tahun), 19,42 % untuk usia SLTP (13 – 15 tahun), 10,32 untuk usia SLTA (16 – 18 tahun), dan hanya 5,66 % untuk usia Perguruan Tinggi (19-22 tahun).
Keadaan ini diperkuat dengan laporan Republika Online yang menyatakan bahwa ribuan siswa lulusan SD dan SMP di Kabupaten Kediri, Jawa Timur terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan lanjutan menyusul tidak tersedianya ruang sekolah yang mencukupi sesuai jumlah lulusan siswa. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri, M Kardiyono, mengungkapkan bahwa jumlah lulusan SD di wilayahnya pada tahun 2005 ini mencapai 23.020 siswa. Sementara kuota siswa baru SMP Negeri di Kabupaten Kediri 9.636 orang atau hanya untuk menampung 41 persen lulusan SD di daerah tersebut. Demikian halnya dengan lulusan SMP yang jumlahnya mencapai 13.276 orang, padahal jatah untuk SMAN hanya tersedia 2.940 saja atau 22 persen dari jumlah kelulusan.
Selain jumlah sekolah yang tidak dapat menampung seluruh anak usia sekolah, program di sekolahpun kurang mendukung anak untuk mempunyai kebiasaan membaca. Taufiq Ismail pada tahun 1997 meneliti program membaca dari 13 SMA di dunia mendapatkan hasil yang sangat menyedihkan. Menurut Taufiq Ismail sejak tahun 1943 sampai sekarang tidak satupun SMA Indonesia yang mewajibkan siswanya membaca buku roman. Wajib disini dalam arti kewajiban membaca buku tersebut masuk dalam kurikulum sekolah. Guru memerintahkan siswanya untuk membaca buku, kemudian guru tersebut mewajibkan siswanya untuk membuat ringkasan dan menguji muridnya.
3.2 Kondisi Perbukuan Indonesia
Menurut Soekarman Kartosedono (1992), dalam zaman modern dewasa ini perkembangan ekonomi dan pembangunan suatu negara bukan hanya diukur dari tingkat pendapatan (GNP) masyarakat saja tetapi juga dilihat dari tingkat baca tulis, konsumsi kertas, buku dan perkembangan literatur masyarakat. Hal ini tidaklah mengherankan karena sejak dahulu kala, buku telah membuktikan fungsi dan peranannya yang sangat efektif sebagai sarana pendidikan dan pranata ilmu pengetahuan. Buku selain merupakan wahana untuk menampilkan dan memelihara warisan peradaban bangsa, juga berperan sebagai alat ampuh untuk menyebarkan budaya tersebut kepada masyarakat.
Sebuah penelitian mengenai perbukuan bidang sains pernah dilakukan pada tahun 1982 dibiayai oleh Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional, dengan kesimpulan antara lain :

  1. Jumlah buku sains yang diterbitkan antara 1972 – 1981 berjumlah 2.233 judul untuk pembaca dari berbagai tingkat pendidikan.
  2. Pada umumnya penerbit, terutama penerbit komersial, belum memperlihatkan prestasi yang memadai dalam menerbitkan judul-judul buku sains.

Penelitian yang sama dilakukan untuk bidang teknologi, dengan kesimpulan antara lain:

  1. Jumlah buku teknologi yang diterbitkan antara tahun 1972 – 1981 berjumlah 4.942 judul, 67,2 % diantaranya adalah buku teknologi pertanian.
  2. Ditinjau dari segi pelakunya, diperoleh kesimpulan bahwa dari seluruh terbitan bidang teknologi, 23 % diterbitkan oleh penerbit universitas, dan 49,1 % oleh departemen dan lembaga-lembaga negara.

Satu lagi penelitian yang sama juga dibiayai oleh Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional menyangkut buku bacaan anak-anak (tingkat SD). Kesimpulan dari penelitian itu antara lain:

  1. Jumlah buku anak-anak yang terbit antara tahun 1971 – 1980 adalah 5.519 judul, lebih kurang 50 % diantaranya adalah buku-buku fiksi.
  2. Sekitar 22 % dari terbitan buku anak-anak adalah karya terjemahan dan atau adaptasi.

Setelah itu, sangat jarang diadakan survei yang komprehensif mengenai perbukuan di Indonesia. Pada masa krisis ekonomi, dari jumlah penerbit yang masih aktif menjadi anggota IKAPI, sekitar 15 persen hanya bergantung kepada buku stok atau cetak ulang buku yang diperkirakan masih dicari orang di pasar. Perusahaan penerbitan yang benar-benar masih aktif menerbitkan buku dan judul baru tinggal 10 persen. Akibatnya, produksi buku pada sekitar tahun 2000 merosot tajam, yakni dari sekitar 5.000-6.000 judul per tahun tingal sekitar 2.000 judul saja per tahun.
Penelitian terakhir dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI (2004) menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

  1. Publikasi Indonesia selama tahun 2002 dan 2003 adalah sebesar 12.709 judul buku yang terdiri dari 6.656 judul buku (52,4 %) diterbitkan pada tahun 2002 dan sebanyak 6.053 judul buku (47,6 %) diterbitkan pada tahun 2003.
  2. Buku-buku tersebut diterbitkan oleh 1.977 penerbit baik penerbit komersial (sebanyak 1169 penerbit atau 59,13 %) maupun penerbit non komersial (sebanyak 808 atau 40,87 %) seperti lembaga pemerintah dan swasta serta perguruan tinggi non penerbit universitas.
  3. Dari lima kota besar (ibukota propinsi di Jawa), kota yang paling banyak menerbitkan buku adalah Jakarta (61,27 %), kemudian diikuti oleh Yogyakarta (15,56 %), Bandung (8, 20 %), Surabaya (1,27 %), dan Semarang (0,71 %). Hal ini sesuai dengan jumlah penerbit (komersial) yang ada di kota-kota tersebut dengan jumlah masing-masing sebagai berikut: Jakarta sebanyak 643 penerbit, Yogyakarta sebanyak 192 penerbit, Bandung sebanyak 107 penerbit, Surabaya sebanyak 44 penerbit, dan Semarang sebanyak 19 penerbit.
    Jumlah terbitan yang rata-rata 6.000 – 7.000 judul per tahun ini masih terbilang kecil dibanding Jepang atau Thailand yang mencetak 68.000-70.000 judul per tahun (Kompas, 17/5-2004). Sebagai perbandingan data perbukuan dari negara Korea, negara yang terpilih sebagai Guest of Honor Frankfurt Book Fair 2005, mungkin berguna Saat ini, di bidang industri perbukuan, Korea mengandalkan pada produksi buku untuk anak-anak, termasuk di dalamnya komik. Berdasarkan data judul buku yang diterbitkan pada tahun 2002, buku bacaan anak menempati urutan kedua, yaitu 17 persen dari total judul buku. Tempat pertama adalah komik, yaitu 25 persen dari total judul buku yang terbit pada tahun 2002 (Kompas, 18/10-2003).

3.2 Pendidikan Seumur Hidup
Dengan keadaan pendidikan formal seperti sekarang ini akan banyak penduduk Indonesia yang tidak dapat mengenyam pendidikan. Pemerintah memang sudah berusaha untuk meningkatkan daya tampung sekolah formal seperti yang dilakukan pemerintahan Soeharto dengan program SD Inpres, kemudian program Wajib Belajar 9 tahun, sekolah (SMP) terbuka dan sebagainya. Namun semua itu belum dapat menampung semua anak usia sekolah. Selain memang daya tampung sekolah yang belum dapat dipenuhi, ada masalah lain yaitu kemiskinan. Banyak penduduk miskin yang tidak mau menyekolahkan anaknya ke sekolah formal walaupun gratis, karena anak buat mereka adalah “mesin uang” yang harus bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah.
Jalan keluar untuk mendidik anak-anak putus sekolah tersebut adalah pendidikan seumur hidup (life-long education). Pendidikan ini bisa dilakukan melalui Kejar paket atau Kelompok Belajar Paket A dan Paket B. Bahkan ada Paket C. Pendidikan ini juga dapat dilakukan melalui kelompok ibu-ibu PKK, Karang Taruna dan lain-lain.
Perpustakaan, khususnya perpustakaan umum, merupakan unit yang melayani kebutuhan informasi masyarakat umum sepanjang masa. Karena fungsinya tersebut maka perpustakaan umum dikenal sebagai salah satu unit yang menyelenggarakan pendidikan seumur hidup (life-long education). Oleh karena itu Perpustakaan Umum diharapkan dapat mengembangkan layanan yang mendukung pendidikan seumur hidup tersebut dengan program-program peningkatan layanan sehingga dapat memasyarakatkan gemar membaca dan gemar belajar.

4. Upaya Pemecahan Masalah
Tingkat minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan tingkat minat baca masyarakat bangsa lain. Pernyataan negatif pesimistis ini sering muncul dan diulang-ulang dalam berbagai laporan hasil penelitian dan pendapat para pakar yang dituangkan dalam berbagai tulisan atau pun disampaikan dalam beragam pertemuan ilmiah. Bunanta (2004) menyebutkan bahwa minat baca terutama sangat ditentukan oleh:

  1. Faktor lingkungan keluarga dalam hal ini misalnya kebiasaan membaca keluarga di lingkungan rumah
  2. Faktor pendidikan dan kurikulum di sekolah yang kurang kondusif.
  3. Faktor infrastruktur dalam masyarakat yang kurang mendukung peningkatan minat baca masyarakat.
  4. Serta faktor keberadaan dan keterjangkauan bahan bacaan.

Sementara itu dipahami bahwa terdapat hubungan antara minat baca dengan tingkat kecepatan pemahaman bacaan bagi peserta didik.
Dalam artikel di Harian Kompas Rabu 26 Juli 2000 disebutkan hasil penelitian Guritnaningsih A Santoso dengan judul "Studi Perkembangan Kognitif Anak Indonesia". Dalam penelitian itu ditemukan bahwa minat baca dan pemahaman bacaan dapat ditingkatkan melalui pendekatan pemrosesan informasi. Penelitian dilakukan terhadap 180 siswa SD di DKI Jakarta dan Jawa Barat sejak Oktober 1999. Hasilnya antara lain, siswa memiliki kemampuan yang rendah dalam memahami kalimat sehingga tidak mampu menangkap ide pokok bacaan. Hal ini terutama disebabkan karena rendahnya minat baca siswa sekolah. Untuk mengatasinya keterbelakangan ini diperlukan pendidikan sejak dini, dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan di dalam keluarga merupakan pendorong minat baca yang utama.
Minat baca seharusnya ditanamkan oleh orangtua sejak anak masih kecil. Cara yang paling mudah adalah mendongeng melalui buku cerita. Setelah seorang anak dapat membaca, diharapkan mereka akan berusaha mengetahui isi bacaan tanpa menunggu didongengi. Pada gilirannya mereka akan tertarik untuk membaca.
Faktor selanjutnya yang juga sangat berpengaruh adalah pendidikan di sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Pendidikan di sekolah mendorong anak membaca karena tuntutan pelajaran. Sementara, lingkungan turut mendorong minat baca karena seorang anak melakukan kegiatan sesuai yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya. Anak menjadi rajin membaca jika masyarakat di sekitarnya melakukannya.
Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. dalam tulisannya dengan judul “Minat Baca dan Kualitas Bangsa” di Harian Kompas Selasa, 23 Maret 2004, menyatakan: “ Secara teoritis ada hubungan yang positif antara minat baca (reading interest) dengan kebiasaan membaca (reading habit) dan kemampuan membaca (reading ability). Rendahnya minat baca masyarakat menjadikan kebiasaan membaca yang rendah, dan kebiasaan membaca yang rendah ini menjadikan kemampuan membaca rendah. Itulah yang sedang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini.”
Faktor-faktor berikut ditengarai menghambat peningkatan minat baca dalam masyarakat dewasa ini (Leonhardt, 1997):

  1. Langkanya keberadaan buku-buku anak yang menarik terbitan dalam negeri
  2. Semakin jarangnya bimbingan orang tua yang suka mendongeng sebelum tidur bagi anak-anak. Padahal kebiasaan ini merupakan kebiasaanya jaman dulu banyak dilakukan orang tua.
  3. Pengaruh televisi yang bukannya mendorong anak-anak untuk membaca, tetapi lebih betah menonton acara-acara televisi.
  4. Harga buku yang semakin tidak terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat
  5. Kurang tersedianya taman-taman bacaan yang gratis dengan koleksi buku yang lengkap dan menarik.

Pernyataan dan fenomena diatas sangat relevan direnungkan dalam rangka meningkatkan kecerdasan bangsa.
Di lingkungan jalur pendidikan sekolah promosi membaca hendaknya dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk meningkatkan minat baca di sekolah ada dua permasalahan yang mendasar harus diperhatikan yaitu:

1. Penyediaan dan Pembinaan Perpustakaan Sekolah yang Baik dan Lengkap
Secara umum kondisi perpustakaan sekolah saat ini masih belum memuaskan, banyak yang harus dibenahi. Negara kita adalah negara dengan penduduk besar dengan jumlah sekolah lebih dari 200.000 sekolah dari SD hingga SLTA. Pembenahan perpustakaan sekolah sebanyak itu tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu pembenahan tersebut harus dilakukan secara bertahap. Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain adalah:

  • Pembenahan ruang perpustakaan
  • Pembinaan koleksi perpustakaan yang terdiri dari buku pelajaran pokok, buku pelajaran pelengkap, buku bacaan, dan buku sumber.
  • Tenaga pengelola perpustakaan sekolah

2. Kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan minat baca
Disamping pembinaan perpustakaan sekolah, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan minat baca adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan minat membaca. Kegiatan tersebut dapat dikembangkan, dan sangat bergantung kepada kreativitas dan inisiatif tenaga pendidik di sekolah. Beberapa kegiatan yang dianjurkan adalah:

  • Agar guru pustakawan menerbitkan daftar buku anak-anak
  • Mengundang pustakawan dan para guru agar beerjasama dalam merencanakan kegiatan promosi minat baca.
  • Mengorganisasi lomba minat baca di sekolah.
  • Memilih siswa teladan yang telah membaca buku terbanyak.
  • Melaksanakan program wajib baca di sekolah.
  • Menjalin kerjasama antar perpustakaan sekolah.
  • Memberikan tugas baca setiap minggu dan melaporkan hasil bacaannya.
  • Menceritakan orang-orang yang sukses sebagai hasil membaca.
  • Menugaskan siswa untuk membuat abstrak dari buku-buku yang dibaca.
  • Menugaskan siswa belajar ke perpustakaan apabila guru tidak hadir.
  • Menerbitkan majalah/buletin sekolah.
  • Mengajarkan teknik membaca kepada siswa.
  • Memberikan waktu khusus kepada siswa untuk membaca.
  • Menyelenggarakan pameran buku secara periodik.
  • Dan lain-lain.

Di lingkungan pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) maka perpustakaan umum harus memegang peranan penting dalam pembinaan minat atau gemar membaca. Beberapa layanan yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus antara lain adalah:
1. Layanan Anak
Sesuai dengan tugas dan fungsi perpustakaan umum yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui pendayagunaan koleksi bahan pustaka untuk keperluan pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan, dan rekreasi, maka salah satu layanan yang diselenggarakan oleh perpustakaan umum adalah layanan anak atau juga dikenal dengan seksi anak-anak. Berbagai kegiatan disiapkan untuk kebutuhan anak-anak dari pemilihan bahan pustaka sampai kepada pelayannya disesuaikan untuk anak menurut usia dan selera anak-anak.
Bahan bacaan anak usia balita lebih ditekankan pada gambar (picture books) tanpa teks. Anak balita banyak tertarik pada gambar dan warna-warna yang menyolok. Setelah usia sekolah dasar anak diperkenalkan dengan huruf dan angka. Oleh karena itu koleksi untuk anak usia ini adalah buku-buku yang banyak gambar dan berwarna-warni, namun sudah mulai ada sedikit teks. Anak-anak tumbuh dan berkembang sehingga mereka membutuhkan bacaan-bacaan. Penyediaan bacaan yang tepat adalah menjadi tanggung jawab pustakawan agar anak tertarik dan gemar membaca. Anak-anak harus menemukan kepuasan dalam membaca, karena itu pustakawan tidak boleh mengabaikan selera anak. Anak-anak membutuhkan bacaan hiburan, informasi, dan hal-hal yang menarik dari lingkungannya. Televisi dan teknologi informasi telah banyak mengubah kehidupan anak-anak modern seperti sekarang ini termasuk bahan bacaannya. Oleh karena itu bacaan anak-anak perlu disesuaikan dengan dunia anak-anak saat ini.
Jenis layanan anak-anak di perpustakaan umum meliputi:
- Layanan membaca
Selain meminjamkan bahan pustaka anak-anak, perpustakaan umum menyediakan layanan anak-anak Balita dan anak-anak sampai usia 12 tahun. Mereka diarahkan untuk mengembangkan imajinasi, meningkatkan minat baca dan gemar belajar serta rekreasi yang mendidik.
- Bimbingan membaca
Layanan ini diperlukan bagi anak-anak yang membutuhkan bacaan khusus namun sulit untuk mendapatkannya. Anak-anak diperkenalkan kepada buku secara bertahap yaitu dengan memberikan buku bergambar tanpa teks. Setelah mengenal huruf mereka diberi buku bergambar dengan teks sederhana dan mudah dibaca. Setelah lancar membaca maka mereka diberi buku dengan teks yang lebih banyak daripada gambar sampai kepada buku yang hanya terdiri dari teks saja. Untuk acara bimbingan membaca ini perlu dilakukan secara terencana dengan jadwal yang teratur sehingga tidak mengganggu jam pelajaran sekolah.
- Layanan referens anak
Layanan kepada anak-anak perlu juga dilengkapi dengan layanan referens. Anak-anak perlu diperkenalkan kepada buku-buku referens sejak dini. Bahan referens untuk anak-anak mencakup ensiklopedia, kamus, atlas dan lain-lain. Pustakawan yang bertugas di bagian referens anak-anak dapat memberi bimbingan bagaimana mencari informasi, cara menggunakan buku referens dan menjawab pertanyaan anak-anak.
- Acara mendongeng
Layanan mendongeng ini biasanya sangat digemari anak-anak terutama usia balita dan usia awal sekolah dasar. Pada usia ini anak-anak memiliki rasa ingin tahu. Karena itu sangat tepat bila pada usia ini diperkenalkan buku-buku yang sesuai dengan alam pikiran anak-anak. Buku tersebut dapat dibacakan oleh pustakawan dengan cara seperti mendongeng.
Pustakawan (atau dapat bekerjasama dengan guru TK atau SD) harus menggunakan koleksi dan alat peraga yang ada di perpustakaan dalam mendongeng. Pembawa cerita harus mempunyai pengetahuan tentang bacaan anak-anak yang akan disampaikan.
Waktu untuk melaksanakan acara mendongeng harus disesuaikan dengan waktu berkunjung anak ke perpustakaan, biasanya waktu libur. Jadwal acara mendongeng tersebut harus diumumkan di bagian pelayanan sehingga anak-anak tahu kapan mereka harus berkunjung apabila ingin mendengarkan dongeng tersebut.
- Pertunjukan atau pemutaran film
Perpustakaan umum yang memiliki berbagai kegiatan untuk layanan anak-anak sebaiknya melaksanakan pertunjukan film anak-anak. Untuk menyelenggarakan acara pemutaran film ini perpustakaan dapat bekerjasama dengan perpustakaan lain yang lebih besar yang memiliki koleksi film yang lebih lengkap dan memiliki peralatan pemutar film. Saat ini pemutaran film dapat menggunakan alat pemutar VCD atau DVD yang diproyeksikan ke layar melalui LCD proyektor. Beberapa film anak-anak juga tersedia dalam bentuk VCD atau DVD.
Beberapa jenis film dengan tema sejarah, flora dan fauna, alam, pengenalan tentang negara, penemuan ilmiah dan ruang angkasa dapat menjadi pilihan untuk diputar.
2. Layanan Remaja
Perbedaan antara layanan anak-anak dengan layanan remaja, setingkat lebih tinggi dalam menyediakan bahan pustaka yaitu yang sesuai dengan selera anak remaja. Anak remaja berbeda dengan anak-anak balita. Anak remaja sudah mulai mengenal identitas dirinya sehingga perpustakaan harus menyediakan bahan bacaan yang mengarah kepada bacaan yang dapat mendorong mereka kreatif dan bacaan yang berisi tokoh-tokoh panutan, misalnya biografi atau sejarah tokoh-tokoh terkenal, tokoh pahlawan dan lain-lain.
Kemampuan remaja dalam hal meneliti, mengevaluasi dan memperkaya apresiasi terhadap media komunikasi juga sudah mulai berkembang. Kebiasaan membaca pada remaja seperti ini akan menjadi modal untuk terus mengembangkan kemampuannya. Kebiasaan membaca remaja ini harus dipelihara oleh perpustakaan dengan cara menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain bahan bacaan yang sesuai dengan selera remaja, bahan bacaan yang harus disediakan harus pula mendukung kurikulum sekolah baik roman, fiksi maupun maupun non fiksi yang mencakup pengetahuan populer yang bermanfaat bagi remaja.
3. Layanan Kelompok Pembaca Khusus
Selain layanan anak dan remaja perpustakaan umum juga biasanya menyelenggarakan layanan khusus yang diberikan kepada masyarakat yang berada di lembaga pemasyarakatan, panti asuhan, panti jompo, penyandang cacat seperti tuna netra dan tuna rungu, serta petugas yang terpencil seperti guru, penjaga mercu suar dan perbatasan. Untuk menyelenggarakan layanan khusus seperti ini diperlukan persiapan dan perencanaan yang matang sehingga apa yang disampaikan sesuai dengan masyarakat yang dilayaninya. Beberapa pertimbangan diperhatikan seperti:
- Kebutuhan, selera, pendidikan, usia dan keamanan/ ketertiban pembaca
- Waktu pelayanan pada setiap lokasi tentu tidak tiap hari karena kondisi mereka yang berbeda dengan masyarakat yang berbeda dengan masyarakat umumnya
- Petugas layanan pada unit layanan khusus harus lebih terampil dan mempunyai kesabaran yang tinggi serta luwes dalam mengambil keputusan.
Layanan khusus bagi masyarakat tersebut bukan hanya bertujuan agar mereka terampil menggunakan perpustakaan, namun lebih dari itu agar masyarakat tersebut mendapatkan tambahan pengetahuan, sehingga rasa percaya diri mereka dapat tumbuh dan mereka yakin dapat berbaur dengan masyarakat lain di luar lingkungannya.
4. layanan perpustakaan keliling
Layanan perpustakaan keliling merupakan layanan ekstensi atau perluasan layanan dari perpustakaan umum. Perpustakaan keliling ini dilakukan baik melalui kendaraan darat, laut dan sungai, bahkan melalui udara. Layanan perpustakaan keliling dilakukan dengan angkutan dari yang sederhana sampai kepada kendaraan modern. Misalnya saja ada perpustakaan keliling yang masih menggunakan sepeda, sepeda motor, namun juga ada yang menggunakan bus atau truk dan sudah dilengkapi dengan komputer yang bisa akses ke internet. Mobil perpustakaan keliling ini sekarang dikenal dengan nama mobil library. Mobil library atau perpustakaan bergerak/ keliling sangat efektif sebagai sarana layanan perpustakaan umum. Penyelenggaraan perpustakaan keliling ini bertujuan untuk mendekatkan koleksi kepada pemakainya, sebab banyak pemakai yang tinggal jauh dari perpustakaan tidak berkesempatan mengunjungi perpustakaan. Padahal mereka juga membutuhkan layanan perpustakaan
Sarana mobil unit perpustakaan keliling telah digunakan oleh semua negara di dunia untuk melayani masyarakat yang jaraknya jauh dari jangkauan layanan perpustakaan umum. Meskipun demikian pada negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dengan segala daya memberikan pelayanan perpustakaan kepada masyarakat terpencil atau daerah kumuh seperti kota-kota yang berpenduduk padat dan berekonomi lemah sehingga tidak mampu menyediakan bahan bacaan bagi keluarganya.
Dalam menyelenggarakan layanan perpustakaan keliling ini perpustakaan perlu merencanakan jadwal pelayanan mobil unit perpustakaan keliling untuk melayani beberapa lokasi yang jaraknya berjauhan dari perpustakaan umum dan sekolah-sekolah yang belum memiliki perpustakaan. Setiap mobil keliling membawa kotak sebanyak lokasi layanan (service point) dan atau kelompok-kelompok pembaca. Setiap kotak berisi judul buku yang berbeda-beda dengan kotak lain sehingga bisa dirotasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya sesuai aturan yang telah dijadwalkan oleh pustakawan. Pustakawan menyusun jadwal dan merencanakan pelaksanaan di lapangan agar mobil unit perpustakaan keliling berjalan lancar.
Kegiatan pengembangan layanan perlu didukung dengan pengembangan koleksi berupa bacaan-bacaan kreatif, dan bacaan-bacaan lokal seperti cerita rakyat tentang kejadian sebuah kota atau desa dan lain-lain.

5. Penutup
Dengan memahami usaha-usaha yang mendasar dalam meningkatkan minat atau gemar membaca tersebut sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa dua hal yang paling penting dalam usaha menanamkan dan menumbuhkan minat atau gemar membaca adalah menyangkut pengadaan sarana yang menyediakan sumber-sumber informasi. Selain itu perlu ada usaha-usaha dari pihak yang berkepentingan seperti sekolah, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan instansi lain yang terkait khususnya untuk mendorong masyarakat agar membaca secara berkesinambungan.
Menyadari pentingnya usaha-usaha seperti yang disebut di atas, sekaligus memahami bahwa pelaksanaan usaha tersebut tidak mudah dan menuntut perencanaan dan pelaksanaan yang lama, maka kiranya usaha tersebut perlu secara terus menerus diupayakan oleh berbagai pihak, khususnya pihak yang berhubungan langsung dengan kegiatan pendidikan baik pendidikan formal dalam hal ini guru dan guru pustakawan, maupun pendidikan non formal (luar sekolah) seperti pustakawan di perpustakaan umum.

6. Daftar Pustaka
Bunanta, Murti. 2004. Buku, mendongeng dan minat membaca. Pustaka Tangga. Jakarta. 232 p.

Credé, Andreas. 1998. Knowledge societies . . . in a nutshell : information technology for sustainable development. Ottawa: International Development Research Centre.

Djazuli, A. Promosi Membaca di Lingkungan Lembaga Pendidikan Formal. Seminar Nasional Promosi Gemar Membaca, Jakarta 30 Mei – 1 Juni 1994.

Kartosedono, Soekarman. 1992. Prospek Perbukuan di Masa Mendatang. Dalam. Kepustakawanan Indonesia: Potensi dan Tantangan. Jakarta: Kesaint Blanc. p126-148.

Leonhardt, Mary. 1999. 99 cara menjadikan anak anda “keranjingan” membaca. Mizan. Bandung. 176 p.

Ribuan Lulusan SD dan SMP tak Bisa Sekolah. Republika Online. http://www.republika.co.id/ koran_detail.asp?id=205925&kat_id=61&kat_id1=&kat_id2=. Diakses tanggal 23 Agustus 2005.

Saleh, Abdul Rahman dkk (2004). Kajian Penerbitan Buku di Indonesia Tahun 2002 dan 2003. Jakarta: Kerjasama Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB.

Saleh, Abdul Rahman dkk (1997). Penelitian Minat Baca Masyarakat di Jawa Timur. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Saleh, Abdul Rahman dkk (1996). Penelitian Minat Baca Masyarakat di Pulau Batam. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Santoso, Guritnaningsih A. 2000. Studi Perkembangan Koknitif Anak Indonesia. Harian Kompas, Rabu, 26 Juli. Jakarta

Supriyoko, Ki. 2004. Minat Baca dan Kualitas Bangsa. Harian Kompas, Selasa, 23 Maret. Jakarta.

Widjanarko, Putut. 2000. Elegi Guterenberg : memposisikan buku di era cyberspace. Mizan. Bandung. 248 p.

[1] Disampaikan pada acara Seminar dan Lokakarya Peningkatan Budaya Gemar Membaca, Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Bogor, 28 Juli 2005

[2] Pustakawan Madya pada Perpustakaan Institut Pertanian Bogor dan Ketua Bidang Perpustakaan Perguruan Tinggi, Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia periode 2002 – 2006.

Wednesday, May 31, 2006

Perpustakaan di Era Masyarakat Berilmu Pengetahuan

oleh: Janti G. Sujana; Kudang B. Seminar; Syafrida Manuwoto

Pendahuluan
Di Indonesia sudah beberapa tahun terakhir ini dibicarakan masalah era informasi. Bahwa begitu banyak publikasi beredar di berbagai belahan dunia ini, sehingga terjadi ledakan informasi dan timbul istilah era informasi. Itulah yang banyak dituliskan orang dalam berbagai publikasi. Kemudian bagaimana era informasi itu berpengaruh pada masyarakat Indonesia ?
Dalam sebuah masyarakat informasi, ada aliran bebas dari komunikasi dua arah diantara pemerintah dan rakyatnya, diantara rakyatnya sendiri. Dalam sebuah masyarakat yang demikian, setiap orang diinformasikan kejadian-kejadian mutakhir, terutama yang mempunyai akibat langsung terhadap mereka, dan setiap orang mempunyai kemampuan untuk membuat suara mereka didengar. Karena itu, setiap orang mempunyai suara dalam pembentukan rencana-rencana sosio-ekonomis dan berbagai strategi dalam hal-hal yang berkaitan secara nasional (Rahim, 2004). Masih menurut Rahim (2004), masyarakat informasi telah diciptakan merujuk kepada komunitas dimana ada kesiapan untuk mengakses informasi dan pengetahuan, menuju kepada kesempatan yang berkelanjutan dan berkeadilan untuk pertumbuhan dan kemajuan.
Dari pernyataan Rahim berkaitan dengan masyarakat informasi tersebut, terlihat jelas masyarakat Indonesia belum bisa dikatakan masyarakat informasi. Seringkali suara rakyat tidak didengar, bahkan masih banyak yang tidak tahu bahwa mereka itu mempunyai hak untuk didengar suaranya dalam memutuskan nasib mereka. Begitu juga dengan kesiapan untuk mengakses informasi dan pengetahuan, masih sangat banyak rakyat Indonesia yang buta informasi. Perpustakaan umum dan perpustakaan jenis lainnya masih sepi dari pengunjung, disamping memang koleksi perpustakaan tersebut banyak yang tidak menarik minat masyarakat, dan perpustakaan pun tidak mempromosikan layanan yang bisa diberikan kepada masyarakat. Pada umumnya perpustakaan perguruan tinggi yang cukup banyak dimanfaatkan oleh pengguna, itupun karena mahasiswa harus menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Begitu juga dengan oplah surat kabar di Indonesia masih rendah, dibandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia. Jadi masih banyak rakyat yang tidak mempunyai pengetahuan tentang apa yang terjadi di sekitar mereka. Berbicara mengenai akses masyarakat terhadap pengetahuan secara formal, artinya akses masyarakat terhadap pendidikan, kondisinya pun tidak jauh berbeda. Bahkan akses masyarakat terhadap pendidikan formal semakin parah, apa lagi setelah terjadinya krisis multidimensi yang melanda Indonesia berkepanjangan. Semakin banyak anak-anak yang putus sekolah dan menjadi buruh dengan bayaran yang murah, atau bahkan berkeliaran di jalan menjadi pengamen atau pengemis.
Sementara itu bila kita browsing internet atau membaca buku dan artikel dari luar negeri, terutama negara-negara maju, banyak dibicarakan knowledge worker, knowledge society, dan knowledge economy. Makalah ini akan difokuskan kepada knowledge society, walaupun ada sedikit penjelasan akan kaitannya dengan istilah yang lain itu.
Apakah Knowledge Society itu ?
Menurut Drucker (1994), knowledge society adalah sebuah masyarakat dari berbagai organisasi dimana secara praktis setiap tugas tunggal akan dilakukan dalam dan melalui sebuah organisasi. Ciri-ciri masyarakat berpengetahuan adalah:
· Mempunyai kemampuan akademik
· Berpikir kritis
· Berorientasi kepada pemecahan masalah
· Mempunyai kemampuan untuk belajar meninggalkan pemikiran yang lama-lama dan belajar lagi untuk hal-hal yang baru
· Mempunyai keterampilan pengembangan individu dan sosial (termasuk kepercayaan diri, motivasi, komitmen terhadap nilai-nilai moral dan etika, pengertian secara luas akan masyarakat dan dunia) (Manuwoto, 2005)
Dalam masyarakat berpengetahuan, bukanlah individu yang berkinerja, tetapi organisasi yang berkinerja. Seorang dokter misalnya, tentu mempunyai banyak pengetahuan. Tetapi dokter itu tidak dapat berfungsi tanpa pengetahuan yang diberikan oleh disiplin ilmu lainnya, yaitu fisika, kimia, genetika, dan lain sebagainya. Dokter itu tidak dapat berfungsi tanpa hasil-hasil tes yang dilakukan oleh para ahli laboratorium tes darah, X-ray (rontgen), scanning otak, dan lain-lain. Di sisi lain, berbagai keahlian tertentu, seperti seorang dokter bedah syaraf, contoh dari knowledge worker, hanya bisa dihasilkan dari sekolah formal. Dengan demikian pendidikan menjadi pusat dari masyarakat berpengetahuan dan sekolah merupakan institusi kuncinya. Pernyataan itu diperkuat oleh Noel Dempsey (Minister for Education and Science, Ireland, 2004) bahwa untuk bisa kompetitif dalam ekonomi berpengetahuan global (global knowledge economy), semua pengambil keputusan untuk publik harus fokus pada pendidikan sebagai faktor kunci dalam memperkuat daya saing, lapangan kerja dan keterpaduan sosial. Drucker (1994) memperkuat kesimpulan itu dengan menyatakan bahwa pekerja berpengetahuan lebih mempunyai kesempatan memperoleh akses terhadap pekerjaan dan posisi sosial melalui pendidikan formal (Drucker, 1994).
Tujuan utama dari pendidikan adalah untuk memberikan kepada setiap orang kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya sampai maksimum, baik sebagai individu maupun sebagai seorang anggota masyarakat. Seorang yang berpendidikan akan menjadi seseorang yang telah belajar bagaimana untuk belajar, dan keseluruhan masa kehidupannya terus belajar, terutama masuk dan keluar dari pendidikan formal (Drucker, 1994).
Transformasi dari struktur masyarakat yang ada, dengan pengetahuan sebagai sumber daya utama untuk pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan dan sebagai faktor dari produksi, merupakan basis untuk menandai masyarakat modern yang maju sebagai sebuah "masyarakat berpengetahuan." Dalam sebuah masyarakat berpengetahuan ukuran-ukuran lama dalam persaingan seperti biaya tenaga kerja, sumbangan sumber daya dan infrastruktur digantikan oleh dimensi-dimensi seperti paten, penelitian dan pengembangan, serta ketersediaan pekerja berpengetahuan.
Untuk masyarakat berpengetahuan, jelas semakin banyak dibutuhkan penguasaan pengetahuan, terutama pengetahuan tingkat lanjut. Pengetahuan itu dibutuhkan oleh orang-orang yang pasca usia sekolah, dan kebutuhan itu terus meningkat, di dalam dan melalui proses pendidikan yang tidak berpusat pada sekolah tradisional, tetapi pendidikan berkelanjutan yang sistematik yang ditawarkan pada tempat bekerja.
Dalam masyarakat berpengetahuan, akses terhadap kepemimpinan terbuka untuk semua orang. Akses terhadap kemahiran dari pengetahuan tidak lagi tergantung kepada perolehan pendidikan yang ditentukan pada usia tertentu. Pembelajaran akan menjadi alat dari individu yang tersedia baginya pada usia berapa pun, karena begitu banyak keterampilan dan pengetahuan dapat diperoleh dengan cara-cara pemanfaatan teknologi pembelajaran baru. Implikasi lainnya adalah bahwa kinerja dari seorang individu, sebuah organisasi, sebuah industri atau sebuah negara dalam perolehan dan penerapan pengetahuan akan meningkat menjadi faktor kunci persaingan untuk berkarir dan memperoleh kesempatan dari para individu untuk berkinerja. Masyarakat berpengetahuan akan tak terelakkan menjadi jauh lebih kompetitif daripada masyarakat di masa-masa yang lalu. Dengan pengetahuan yang dapat diakses secara universal tidak ada alasan untuk tidak berkinerja. Tidak akan ada negara-negara miskin. Hanya akan ada negara-negara yang terabaikan.
Pusat kekuatan tenaga kerja dalam masyarakat berpengetahuan akan terdiri dari orang-orang dengan spesialisasi yang tinggi. Dalam dunia kerja berpengetahuan, orang-orang dengan pengetahuan mempunyai tanggung jawab untuk membuat dirinya dimengerti oleh orang-orang yang tidak mempunyai basis pengetahuan yang sama. Sebenarnya investasi dalam masyarakat berpengetahuan bukanlah dalam mesin-mesin dan peralatan. Tetapi dalam pengetahuan dari pekerja berpengetahuan. Tanpa itu, mesin-mesin yang sangat maju dan canggih, tidak akan produktif.
Pengetahuan dalam masyarakat berpengetahuan haruslah sangat mempunyai spesialisasi untuk menjadi produktif. Ini mengakibatkan dua persyaratan baru: 1. pekerja berpengetahuan bekerja dalam kelompok-kelompok; dan 2. pekerja berpengetahuan harus mempunyai akses terhadap sebuah organisasi yang, dalam kebanyakan kasus, artinya pekerja berpengetahuan harus menjadi pekerja dari sebuah organisasi.
Karena masyarakat berpengetahuan mensyaratkan sebuah masyarakat dari berbagai organisasi, yang organ sentral dan khususnya adalah manajemen. Semua organisasi itu membutuhkan manajemen apakah mereka menggunakan istilah itu atau tidak. Semua manajer mengerjakan hal yang sama apa pun bisnis dari organisasi mereka. Para manajer itu harus membawa orang-orang yang masing-masing mempunyai pengetahuan yang berbeda, bersama untuk berkinerja bersama. Intisari dari manajemen adalah membuat pengetahuan menjadi produktif (Drucker, 1994).
Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi
Fakta yang terjadi sekarang ini bahwa negara-negara industri menjadi masyarakat berbasis pengetahuan. Timbul pertanyaan tentang peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam membangun "masyarakat berpengetahuan" yang inovatif dalam dunia yang berkembang. Sebuah kesimpulan sentral adalah bahwa TIK dapat memberikan kontribusi utama terhadap pengembangan berkelanjutan, tetapi peluang ini akan diikuti oleh resiko utama. Sebagai contoh, negara-negara yang sangat lamban perkembangannya menghadapi resiko yang besar dari keterasingan karena mereka sering kurang kemampuan sosial dan ekonomi yang dibutuhkan untuk mengambil kelebihan dari inovasi dalam TIK. Negara-negara berkembang perlu mencari jalan untuk mengkombinasikan kompetensi mereka dalam teknologi dan sosial yang ada, jika mereka ingin mengambil keuntungan dari banyak kelebihan potensial dari TIK.
Pengembangan berbasis pengetahuan adalah sebuah proses yang kompleks dalam mengkombinasikan unsur-unsur teknologi dan sosial (termasuk kompetensi sumber daya manusianya) dalam cara yang produktif, untuk menciptakan infrastruktur informasi nasional. Berbagai strategi untuk membangun infrastruktur informasi nasional haruslah lebih daripada pernyataan-pernyataan tentang apa yang harus dilakukan. Para pengambil keputusan harus berorientasi pada aksi dan dibiayai dengan tepat.
Untuk negara-negara berkembang, membangun "masyarakat berpengetahuan" yang inovatif melibatkan berbagai inisiatif dalam dua area utama - pembangunan infrastruktur TIK yang pokok, dan penciptaan kondisi-kondisi yang akan mendorong pembangunan berbagai kompetensi sosial dalam bidang-bidang tertentu. Indonesia sebagai negara agraris justru masih minim dalam penyediaan informasi dan pengetahuan praktis dan strategis yang relevan dengan bidang pertanian. Padahal untuk mengangkat masyarakat agraris (petani) konvensional menjadi petani berpengetahuan adalah dengan penyediaan sistem repositori pengetahuan yang mudah dan merata dijangkau oleh masyarakat. Disini peran TIK dapat didayagunakan untuk tujuan pemberdayaan sumberdaya manusia yang berpengatahuan dan profesional (Seminar 2002, Seminar 2004, Seminar 2005). Level konsumsi informasi dengan berbagai interaksi dengan melihat, membaca, mendengar, dan berbuat (by seeing, reading, hearing, and doing) berbasis TIK (Seminar 2002, Seminar 2004) harus diakomodir melalui perpustakaan. Investasi dalam infrastruktur TIK perlu dilakukan secara paralel dengan investasi dalam berbagai kompetensi sosial yang timbul dari infrastruktur sosial dan institusional, termasuk pendidikan dan pengetahuan teknis, begitu juga dengan institusi-institusi politik, ekonomi, kultural, dan sosial di negara-negara berkembang. Namun demikian, investasi pada akumulasi teknologi dan keterampilan tidak menjamin bahwa berbagai strategi untuk membangun "masyarakat berpengetahuan" yang inovatif akan efektif atau masuk akal.
Banyak kesempatan untuk semua negara di tahun-tahun mendatang untuk memanfaatkan yang terbaik dari potensi yang ditawarkan oleh TIK dalam mendukung sasaran pengembangan utama mereka. Hal itu berlaku untuk sasaran pada peningkatan mutu kehidupan dan keberlanjutan lingkungan di negara-negara industri. Itu juga berlaku untuk sasaran pada pengurangan kemiskinan dan menyumbang pada pengembangan berkelanjutan di negara-negara terbelakang dan berkembang. Pemanfaatan berbagai sarana TIK secara inovatif bisa memberikan titik awal untuk pengembangan "masyarakat berpengetahuan" secara inovatif.
Peran potensial dari TIK di negara-negara berkembang: 1) TIK merupakan sarana untuk pengembangan, tetapi penggunaan yang efektif mensyaratkan investasi dari kombinasi kompetensi sosial dan teknologi; 2) Pemanfaatan TIK akan memberikan keuntungan terhadap investasi yang jauh lebih baik; 3) Kemampuan untuk menggerakkan investasi dalam TIK dan pemanfaatannya secara efektif berbeda pada masing-masing negara berkembang; 4) Idealnya, investasi-investasi tersebut diusahakan simultan, tetapi bila tidak mungkin, investasi dalam kompetensi sosial seharusnya diprioritaskan; 5) kemitraan yang baru dibutuhkan sehubungan dengan berbagai koordinasi, mobilisasi investasi, mengatasi berbagai masalah sosial di negara-negara berkembang.
Tantangan untuk pengambil keputusan negara berkembang adalah menciptakan kerangka kebijakan yang membangkitkan, mendukung, dan membebaskan kemampuan rakyat untuk memanfaatkan TIK untuk menghasilkan pengetahuan dan sumber daya lainnya yang bermanfaat.
Dimana Peran Perpustakaan ?
Masyarakat Indonesia masih belum mencapai knowledge society. Lihat saja tenaga kerja Indonesia yang mencari kerja di negara-negara lain, mereka menjadi buruh, pembantu rumah tangga, supir, bukan knowledge worker. Akibatnya mereka banyak diperlakukan dengan kasar, tidak adil, bahkan ada yang upahnya tidak dibayar. Sementara di dalam negeri, pemilihan kepala daerah saja menjadi ajang perkelahian. Berbagai kekerasan terjadi akibat hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Disamping itu masyarakat masih ditimpa oleh berbagai bencana alam, bencana penyakit yang banyak memakan korban jiwa. Mengapa semua itu terjadi ? Salah satunya adalah akibat dari masyarakat kita tidak berpengetahuan, belum menjadi knowledge society.
Bila tenaga kerja kita sudah menjadi knowledge worker, mereka bisa bekerja di kantor-kantor dengan upah yang tinggi, menjadi perawat di rumah sakit yang masih dibutuhkan di berbagai negara dengan bayaran yang tinggi. Bila masyarakat kita sudah berpengetahuan, mereka tidak mudah dihasut, tidak mudah dirayu dengan money politic. Mereka memilih para calon kepala daerah dengan kesadaran akan akibat yang timbul bila mereka memilih orang yang salah. Masyarakat yang berpengetahuan sudah memiliki informasi gejala-gejala alam sebelum adanya bencana yang lebih dahsyat. Mereka sudah dapat menjaga lingkungan dengan lebih baik, agar kesehatan mereka terjaga. Mereka tidak tinggal diam bila pemerintahnya melakukan hal-hal yang merusak lingkungan, dan pemerintahnya tidak bisa memaksakan kehendaknya secara semena-mena.
Lalu bagaimana kita membangun masyarakat berpengetahuan di Indonesia ? Menurut para pakar, salah satu kunci membangun knowledge society adalah melalui pendidikan. Selain pendidikan formal, masyarakat pun memerlukan pendidikan berkelanjutan, life long education. Perpustakaan bisa berperan dalam pendidikan berkelanjutan ini, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Yang menjadi masalah, masyarakat itu belum mengenal bagaimana memanfaatkan perpustakaan. Mereka juga belum mempunyai kebiasaan membaca. Dengan demikian pustakawan harus bekerja dengan lebih kreatif lagi.
Seperti yang terjadi di dunia komersil, bahwa yang namanya memasarkan itu memang harus aktif, kreatif dan inovatif. Walaupun perpustakaan bukanlah lembaga komersil, namun jurus-jurus pemasaran bisa diterapkan juga. Bila masyarakat tidak datang ke perpustakaan, maka perpustakaanlah yang mendatangi masyarakat. Perpustakaan keliling bisa dijadikan salah satu sarana, tetapi tidak cukup dengan hanya sarana itu. Pustakawannya harus aktif mengumpulkan anak-anak, remaja, pemuda-pemudi yang putus sekolah, dan para ibu-ibu dalam kelompok-kelompok terpisah. Pustakawan perlu memilihkan bahan pustaka yang diduga diperlukan oleh kelompok-kelompok masyarakat di kampung-kampung. Dengan demikian pustakawan sebelumnya perlu melakukan kajian tentang masalah apa yang diminati oleh kelompok tertentu di suatu daerah. Misalkan di daerah itu banyak remaja perempuan yang bekerja di perusahaan garmen, maka pustakawan perlu membawa bahan pustaka yang ada hubungannya dengan peningkatan pengetahuan mereka soal menjahit, desain baju, pertekstilan, dan sebagainya. Tentunya mereka perlu juga diinformasikan tentang masalah kesehatan, lingkungan, hukum, dan lain sebagainya, setelah mereka tertarik untuk membaca bahan pustaka kebutuhan utama mereka. Awalnya mungkin sulit mengumpulkan mereka, tetapi kalau sudah ada yang merasakan manfaatnya, akan dengan sendirinya mereka berdatangan mencari perpustakaan. Satu tantangan di pihak perpustakaan, mampukah perpustakaan terus membeli bahan pustaka baru yang menarik minat masyarakat ?
Pustakawan perlu juga menggunakan media massa lokal untuk mensosialisasikan pelayanan perpustakaan. Menurut Rahim (2004), cara yang paling efektif dari segi biaya dalam mencapai komunikasi yang meresap sampai ke akar rumput dan tersebar luas adalah melalui media massa, dan terutama radio. Media tersebut sejauh ini yang paling meresap jangkauannya. Rakyat yang hidup di daerah pedesaan dalam banyak negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Karibia, sangat tergantung pada radio yang menghubungkan mereka dengan dunia yang lebih besar "di sebelah luar." Media yang sedang hangat dibicarakan saat ini, seperti internet, masih mengalami kendala di banyak pelosok kota kecil dan desa di negara-negara berkembang. Bahkan di kota-kota di Indonesia pun, walau sudah tersedia, namun kecepatan aksesnya masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, media massa, dan stasiun radio khususnya, perlu berubah dari alur komersil dan sangat fokus pada rakyat pedesaan begitu juga dengan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya. Tujuan utamanya adalah menciptakan apa yang diistilahkan "pluralisme media," yang merefleksikan kebutuhan dari semua anggota masyarakat, dan terutama mereka yang suaranya sampai sekarang telah diabaikan.
Jadi melihat manfaat radio di atas, pustakawan perlu bekerja sama dengan stasiun radio lokal. Agar menarik, pengenalan perpustakaan pada awalnya di sela-sela acara interaktif dengan pendengar untuk meminta lagu. Bila sudah banyak penggemarnya, barulah acara perpustakaan ini bisa berdiri sendiri. Kejelian pustakawan diperlukan untuk memilih bahan pustaka yang menarik baik isi maupun format untuk dibacakan kepada para pendengar, yang ada manfaatnya juga bagi para pendengar tentunya.
Melihat peran perpustakaan untuk mewujudkan knowledge society, sepertinya semua ini mengarah kepada peran perpustakaan umum. Namun demikian bukan berarti bahwa perpustakaan umum bekerja sendiri, baik pustakawan dari berbagai jenis perpustakaan lain maupun koleksinya harus mendukung juga untuk dimanfaatkan dalam membangun knowledge society. Perpustakaan perlu secara kreatif dan dinamis diintegrasikan dengan berbagai portal ilmu pengetahuan yang relevan (Seminar 2005). Hal ini sangat vital, karena masyarakat berpengetahuan sangat eksploratif dalam penggalian informasi. Seyogyanyalah lautan ilmu pengetahuan yang ada di bumi ini dapat diintekoneksikan dan digunakan bersama untuk kemanfaatan yang lebih luas dan merata. Para pustakawan harus menggalang kekuatan untuk terwujudnya knowledge society di Indonesia. Sebagai contoh, sekarang ini berdiri Taman Pintar (perpustakaan) di stasion kereta api Bogor yang didirikan oleh Karang Taruna Nasional. Jadi pustakawan perlu juga mengajak berbagai pihak untuk segera mewujudkan knowledge society di Indonesia.
Merujuk kepada sasaran yang dituju yaitu terutama masyarakat akar rumput, maka koleksi yang akan banyak dimanfaatkan adalah koleksi berbahasa Indonesia. Sekarang ini di pasaran sudah cukup banyak tersedia bahan pustaka berbahasa Indonesia yang isinya ditujukan untuk masyarakat awam. Bila bahan pustaka itu banyak dibeli untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, maka akan berefek positif terhadap dunia penerbitan di Indonesia. Akan semakin banyak penulis tergugah untuk menghasilkan bacaan, dan penerbit pun bergairah untuk lebih banyak berproduksi.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) sebagai payung dari semua perpustakaan di Indonesia harus mensosialisasikan program ini ke berbagai pihak, baik ke pemerintah pusat maupun kepada pemerintah daerah, agar memperoleh dukungan dari pihak-pihak tersebut. Perpusnas juga bisa mengkoordinasikan pengumpulan dana kepada berbagai pihak swasta ataupun negara-negara donor, mengingat Perpusnas berkedudukan di Jakarta, serta mempunyai power yang jauh lebih kuat untuk bernegosiasi dengan para penyandang dana dan pemegang kekuasaan. Dana yang terkumpul bisa disalurkan kepada perpustakaan yang mempunyai aktivitas yang keatif, tetapi tidak bisa memperoleh dana. Bila melihat dana yang dikumpulkan dalam bencana tsunami di Aceh, masih banyak orang yang mau memberikan sumbangan, asalkan pengelolaan hasil sumbangan transparan dan jelas terlihat manfaat yang diperoleh dari dana tersebut.
Penutup
Knowledge society di Indonesia harus terus dibangun, bila Indonesia tidak mau menjadi bangsa yang terabaikan. Pustakawan yang sehari-hari dikelilingi oleh informasi, harus bisa memanfaatkan apa yang dimilikinya untuk disebarluaskan kepada masyarakat di sekitarnya. Jangan menunggu lagi soal dana, mulailah dengan yang dimiliki, mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang (kata Aa Gym). Bila belum dicoba, bagaimana bisa diketahui kalau hal itu tidak akan berhasil ?
Tengku Mohd. Azzman Shariffadeen, sekretaris National Information Technology Council, Malaysia (dalam Amidon, 2001) menyatakan strategi pengembangan berbasis pengetahuan mensyaratkan: akses terhadap pengalaman kultural dan sosial manusia yang sangat beragam dalam rangka membangun tidak hanya masyarakat yang terinformasikan atau mempunyai pengetahuan yang banyak, tetapi juga yang bijak; mempunyai kompetensi dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan lokal, nasional, dan global; dan sebuah kerangka kerja kekuasaan institusional untuk mempromosikan dan mendorong kemitraan yang cerdas.

DAFTAR PUSTAKA

_______. Tools for Building 'Knowledge Societies.'
http://www.sussex.ac.uk/units/
spru/ink/kspdfs/ch13.pdf (diakses 14 Juni 2005)

_______. Knowledge Society. Dalam website: KnowNet Initiative.
http://www.cd
dc.vt.edu/knownet.what.html (diakses 14 Juni 2005)

Amidon, Debra M. 2001. Building Knowledge Societies: Spotlight on Kuala Lumpur Second Global Knowledge Partnership Conference (GKII).
http://www.entovation.com/whatsnew/knowledge-societies.htm (diakses 19 Juni 2005)

Dempsey, Noel. 2004. Building the Knowledge Society.
http://www.oecd.org/edu
Min2004 (diakses 10 Juni 2005)

Drucker, Peter F. 1994. Knowledge Work and Knowledge Society : the Social Transformations of this Century. http://

Manuwoto, Syafrida. 2005. Pendidikan Pascasarjana Jalur Profesi. Lokakarya IPB - STKS. Ciloto, 28 April 2005.

Rahim, Rinalia Abdul. 2004. Media & the Information Society.
http://www.??????

Seminar, K.B. 2002. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Multimedia di Bidang Industri Pertanian. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, hal.58-68, vol.12, no.2, ISSN 0216-3160.

Seminar, K.B. 2004. Manajemen Layanan Perpustakaan Dengan Dokumen Multimedia. Jurnal Pustakawan Indonesia, hal.12-21, vol.4, no.1, ISSN 1410-5551.

Seminar, K.B. 2005. Integrasi Portal Sumberdaya Alam dengan Perpustakaan Agro Berbasis Internet. Jurnal Pustakawan Indonesia, hal.19-24, vol.5, no.1, ISSN 1410-5551.