Buletin Perpustakaan dan Informasi Bogor - opini

Thursday, June 29, 2006

PENINGKATAN BUDAYA GEMAR MEMBACA [1]

Oleh: Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.[2]
rahman@ipb.ac.id atau ar-saleh@plasa.com

1. Pendahuluan
Budaya baca merupakan persyaratan yang sangat penting dan mendasar yang harus dimiliki oleh setiap warganegara apabila kita ingin menjadi bangsa yang maju. Melalui budaya baca, mutu pendidikan dapat ditingkatkan sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Jadi membaca merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan kreativitas dan dalam mengembangkan IPTEK diperlukan kreativitas yang tinggi. Bila kita tidak ingin menjadi konsumen IPTEK yang dikembangkan oleh negara-negara maju, maka kita harus melakukan usaha-usaha untuk mendorong masyarakat menjadikan membaca sebagai kebutuhan sehari-hari.
Sesungguhnya sejak tahun 1972 UNESCO telah memprioritaskan masalah pembinaan minat baca. Pada tahun tersebut diluncurkan program yang disebut dengan program buku untuk semua (books for all), yang bertujuan untuk meningkatkan minat dan budaya baca masyarakat. Salah satu implementasi program ini adalah dicanangkan International Book Year 1972 (Tahun Buku Internasional 1972).
Minat baca atau gemar membaca sangat dituntut oleh semua pihak untuk dikembangkan. Pemerintah Republik Indonesia bahkan menganggapnya sebagai strategi mendasar yang sangat penting untuk membangun bangsa. Ini terbukti dan tertuang dalam tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam undang-undang nomor 2 tahun 1989, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk mencapai tujuan tersebut kebiasaan membaca perlu ditanamkan pada setiap warga negara pada umumnya dan pada anak-anak didik pada khususnya.


2. Definisi
Minat baca memang belum didefinisikan secara tegas dan jelas. Namun Prof. A. Suhaenah Suparno dari IKIP Jakarta memberi petunjuk mengenai hal ini yaitu tinggi rendahnya minat baca seseorang seharusnya diukur berdasarkan frekuensi dan jumlah bacaan yang dibacanya. Namun perlu ditegaskan bahwa bacaan itu bukan merupakan bacaan wajib. Misalnya bagi pelajar, bukan buku pelajaran sekolah. Jadi seharusnya diukur dari frekuensi dan jumlah bacaan yang dibaca dari jenis bacaan tambahan untuk berbagai keperluan misalnya menambah pengetahuan umum.
Minat dalam kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti kegemaran, kesukaan atau kecenderungan. Bila minat tersebut dihubungkan dengan membaca, maka ada semacam usaha secara intensif terhadap penggunaan media tertulis untuk pemenuhan informasinya. Proses tersebut berawal dari seseorang mempunyai:

  • Kebutuhan pokok terhadap terhadap informasi baik untuk membaca maupun untuk belajar
  • Merespon dan mengkomunikasikan makna didalamnya (tersurat, tersirat atau pemahaman utuh)
  • Membentuk tingkat pengetahuan, dan akhirnya
  • Mempunyai sikap positif bahwa bacaan adalah bagian dari kehidupan.

3. Issu yang Berkaitan dengan Gemar Membaca
3.1 Ketidak-mampuan Membaca (Buta Aksara)
Data dari UNESCO menyatakan bahwa sekitar 1,35 milyar penduduk dunia atau sekitar sepertiga penduduk dunia mengalami buta aksara. Sebagian besar buta aksara tersebut dialami oleh wanita atau 1 : 2 antara pria buta aksara dengan wanita. Sebagian besar penduduk buta aksara tersebut adalah penduduk negara dunia ketiga.
Hingga kini, jumlah penduduk Indonesia buta aksara tergolong masih relatif tinggi. Setelah hampir 60 tahun merdeka, pemberantasan buta huruf masih juga belum tuntas. Data Badan Pusat Statistik 2003 menunjukkan, penduduk buta aksara usia 10 tahun ke atas masih tercatat 9,07 persen atau sekitar 15,5 juta, tersebar di seluruh provinsi (Republika Online, 17 Desember 2004).
Mengapa hingga kini jumlah penduduk buta aksara masih tinggi? Direktur Pendidikan Masyarakat, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Depdiknas, Ekodjatmiko Soekarso, mengungkapkan sejumlah pangkal soalnya. Dia menyatakan, dalam setiap tahun masih terus terjadi adanya siswa usia sekolah dasar yang tidak sekolah atau tidak tertampung di SD kelas 1, 2, dan 3 sekitar 200.000 - 300.000 orang yang disinyalir kembali buta aksara.
3.2 Kondisi Pendidikan di Indonesia
Data Jumlah Sekolah menurut Depdiknas pada tahun 1996/1997 adalah sebagai berikut: 173.898 Sekolah SD dengan jumlah 29.236.933 siswa dan 1.327.933 guru, 30.424 Sekolah tingkat SMP dengan jumlah 9.282.861 siswa dan 588.788 guru, 15.744 sekolah tingkat SLTA dengan jumlah 5.013.808 siswa dan 409.812 guru, 1.667 PT dengan 2.703.896 mahasiswa dan 180.471 dosen.
Namun tidak semua penduduk usia sekolah beruntung menjadi siswa/mahasiswa. Jumlah yang beruntung tersebut hanya 61,2 % untuk usia SD (7 – 12 tahun), 19,42 % untuk usia SLTP (13 – 15 tahun), 10,32 untuk usia SLTA (16 – 18 tahun), dan hanya 5,66 % untuk usia Perguruan Tinggi (19-22 tahun).
Keadaan ini diperkuat dengan laporan Republika Online yang menyatakan bahwa ribuan siswa lulusan SD dan SMP di Kabupaten Kediri, Jawa Timur terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan lanjutan menyusul tidak tersedianya ruang sekolah yang mencukupi sesuai jumlah lulusan siswa. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri, M Kardiyono, mengungkapkan bahwa jumlah lulusan SD di wilayahnya pada tahun 2005 ini mencapai 23.020 siswa. Sementara kuota siswa baru SMP Negeri di Kabupaten Kediri 9.636 orang atau hanya untuk menampung 41 persen lulusan SD di daerah tersebut. Demikian halnya dengan lulusan SMP yang jumlahnya mencapai 13.276 orang, padahal jatah untuk SMAN hanya tersedia 2.940 saja atau 22 persen dari jumlah kelulusan.
Selain jumlah sekolah yang tidak dapat menampung seluruh anak usia sekolah, program di sekolahpun kurang mendukung anak untuk mempunyai kebiasaan membaca. Taufiq Ismail pada tahun 1997 meneliti program membaca dari 13 SMA di dunia mendapatkan hasil yang sangat menyedihkan. Menurut Taufiq Ismail sejak tahun 1943 sampai sekarang tidak satupun SMA Indonesia yang mewajibkan siswanya membaca buku roman. Wajib disini dalam arti kewajiban membaca buku tersebut masuk dalam kurikulum sekolah. Guru memerintahkan siswanya untuk membaca buku, kemudian guru tersebut mewajibkan siswanya untuk membuat ringkasan dan menguji muridnya.
3.2 Kondisi Perbukuan Indonesia
Menurut Soekarman Kartosedono (1992), dalam zaman modern dewasa ini perkembangan ekonomi dan pembangunan suatu negara bukan hanya diukur dari tingkat pendapatan (GNP) masyarakat saja tetapi juga dilihat dari tingkat baca tulis, konsumsi kertas, buku dan perkembangan literatur masyarakat. Hal ini tidaklah mengherankan karena sejak dahulu kala, buku telah membuktikan fungsi dan peranannya yang sangat efektif sebagai sarana pendidikan dan pranata ilmu pengetahuan. Buku selain merupakan wahana untuk menampilkan dan memelihara warisan peradaban bangsa, juga berperan sebagai alat ampuh untuk menyebarkan budaya tersebut kepada masyarakat.
Sebuah penelitian mengenai perbukuan bidang sains pernah dilakukan pada tahun 1982 dibiayai oleh Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional, dengan kesimpulan antara lain :

  1. Jumlah buku sains yang diterbitkan antara 1972 – 1981 berjumlah 2.233 judul untuk pembaca dari berbagai tingkat pendidikan.
  2. Pada umumnya penerbit, terutama penerbit komersial, belum memperlihatkan prestasi yang memadai dalam menerbitkan judul-judul buku sains.

Penelitian yang sama dilakukan untuk bidang teknologi, dengan kesimpulan antara lain:

  1. Jumlah buku teknologi yang diterbitkan antara tahun 1972 – 1981 berjumlah 4.942 judul, 67,2 % diantaranya adalah buku teknologi pertanian.
  2. Ditinjau dari segi pelakunya, diperoleh kesimpulan bahwa dari seluruh terbitan bidang teknologi, 23 % diterbitkan oleh penerbit universitas, dan 49,1 % oleh departemen dan lembaga-lembaga negara.

Satu lagi penelitian yang sama juga dibiayai oleh Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional menyangkut buku bacaan anak-anak (tingkat SD). Kesimpulan dari penelitian itu antara lain:

  1. Jumlah buku anak-anak yang terbit antara tahun 1971 – 1980 adalah 5.519 judul, lebih kurang 50 % diantaranya adalah buku-buku fiksi.
  2. Sekitar 22 % dari terbitan buku anak-anak adalah karya terjemahan dan atau adaptasi.

Setelah itu, sangat jarang diadakan survei yang komprehensif mengenai perbukuan di Indonesia. Pada masa krisis ekonomi, dari jumlah penerbit yang masih aktif menjadi anggota IKAPI, sekitar 15 persen hanya bergantung kepada buku stok atau cetak ulang buku yang diperkirakan masih dicari orang di pasar. Perusahaan penerbitan yang benar-benar masih aktif menerbitkan buku dan judul baru tinggal 10 persen. Akibatnya, produksi buku pada sekitar tahun 2000 merosot tajam, yakni dari sekitar 5.000-6.000 judul per tahun tingal sekitar 2.000 judul saja per tahun.
Penelitian terakhir dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI (2004) menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

  1. Publikasi Indonesia selama tahun 2002 dan 2003 adalah sebesar 12.709 judul buku yang terdiri dari 6.656 judul buku (52,4 %) diterbitkan pada tahun 2002 dan sebanyak 6.053 judul buku (47,6 %) diterbitkan pada tahun 2003.
  2. Buku-buku tersebut diterbitkan oleh 1.977 penerbit baik penerbit komersial (sebanyak 1169 penerbit atau 59,13 %) maupun penerbit non komersial (sebanyak 808 atau 40,87 %) seperti lembaga pemerintah dan swasta serta perguruan tinggi non penerbit universitas.
  3. Dari lima kota besar (ibukota propinsi di Jawa), kota yang paling banyak menerbitkan buku adalah Jakarta (61,27 %), kemudian diikuti oleh Yogyakarta (15,56 %), Bandung (8, 20 %), Surabaya (1,27 %), dan Semarang (0,71 %). Hal ini sesuai dengan jumlah penerbit (komersial) yang ada di kota-kota tersebut dengan jumlah masing-masing sebagai berikut: Jakarta sebanyak 643 penerbit, Yogyakarta sebanyak 192 penerbit, Bandung sebanyak 107 penerbit, Surabaya sebanyak 44 penerbit, dan Semarang sebanyak 19 penerbit.
    Jumlah terbitan yang rata-rata 6.000 – 7.000 judul per tahun ini masih terbilang kecil dibanding Jepang atau Thailand yang mencetak 68.000-70.000 judul per tahun (Kompas, 17/5-2004). Sebagai perbandingan data perbukuan dari negara Korea, negara yang terpilih sebagai Guest of Honor Frankfurt Book Fair 2005, mungkin berguna Saat ini, di bidang industri perbukuan, Korea mengandalkan pada produksi buku untuk anak-anak, termasuk di dalamnya komik. Berdasarkan data judul buku yang diterbitkan pada tahun 2002, buku bacaan anak menempati urutan kedua, yaitu 17 persen dari total judul buku. Tempat pertama adalah komik, yaitu 25 persen dari total judul buku yang terbit pada tahun 2002 (Kompas, 18/10-2003).

3.2 Pendidikan Seumur Hidup
Dengan keadaan pendidikan formal seperti sekarang ini akan banyak penduduk Indonesia yang tidak dapat mengenyam pendidikan. Pemerintah memang sudah berusaha untuk meningkatkan daya tampung sekolah formal seperti yang dilakukan pemerintahan Soeharto dengan program SD Inpres, kemudian program Wajib Belajar 9 tahun, sekolah (SMP) terbuka dan sebagainya. Namun semua itu belum dapat menampung semua anak usia sekolah. Selain memang daya tampung sekolah yang belum dapat dipenuhi, ada masalah lain yaitu kemiskinan. Banyak penduduk miskin yang tidak mau menyekolahkan anaknya ke sekolah formal walaupun gratis, karena anak buat mereka adalah “mesin uang” yang harus bekerja membantu orang tuanya mencari nafkah.
Jalan keluar untuk mendidik anak-anak putus sekolah tersebut adalah pendidikan seumur hidup (life-long education). Pendidikan ini bisa dilakukan melalui Kejar paket atau Kelompok Belajar Paket A dan Paket B. Bahkan ada Paket C. Pendidikan ini juga dapat dilakukan melalui kelompok ibu-ibu PKK, Karang Taruna dan lain-lain.
Perpustakaan, khususnya perpustakaan umum, merupakan unit yang melayani kebutuhan informasi masyarakat umum sepanjang masa. Karena fungsinya tersebut maka perpustakaan umum dikenal sebagai salah satu unit yang menyelenggarakan pendidikan seumur hidup (life-long education). Oleh karena itu Perpustakaan Umum diharapkan dapat mengembangkan layanan yang mendukung pendidikan seumur hidup tersebut dengan program-program peningkatan layanan sehingga dapat memasyarakatkan gemar membaca dan gemar belajar.

4. Upaya Pemecahan Masalah
Tingkat minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan tingkat minat baca masyarakat bangsa lain. Pernyataan negatif pesimistis ini sering muncul dan diulang-ulang dalam berbagai laporan hasil penelitian dan pendapat para pakar yang dituangkan dalam berbagai tulisan atau pun disampaikan dalam beragam pertemuan ilmiah. Bunanta (2004) menyebutkan bahwa minat baca terutama sangat ditentukan oleh:

  1. Faktor lingkungan keluarga dalam hal ini misalnya kebiasaan membaca keluarga di lingkungan rumah
  2. Faktor pendidikan dan kurikulum di sekolah yang kurang kondusif.
  3. Faktor infrastruktur dalam masyarakat yang kurang mendukung peningkatan minat baca masyarakat.
  4. Serta faktor keberadaan dan keterjangkauan bahan bacaan.

Sementara itu dipahami bahwa terdapat hubungan antara minat baca dengan tingkat kecepatan pemahaman bacaan bagi peserta didik.
Dalam artikel di Harian Kompas Rabu 26 Juli 2000 disebutkan hasil penelitian Guritnaningsih A Santoso dengan judul "Studi Perkembangan Kognitif Anak Indonesia". Dalam penelitian itu ditemukan bahwa minat baca dan pemahaman bacaan dapat ditingkatkan melalui pendekatan pemrosesan informasi. Penelitian dilakukan terhadap 180 siswa SD di DKI Jakarta dan Jawa Barat sejak Oktober 1999. Hasilnya antara lain, siswa memiliki kemampuan yang rendah dalam memahami kalimat sehingga tidak mampu menangkap ide pokok bacaan. Hal ini terutama disebabkan karena rendahnya minat baca siswa sekolah. Untuk mengatasinya keterbelakangan ini diperlukan pendidikan sejak dini, dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan di dalam keluarga merupakan pendorong minat baca yang utama.
Minat baca seharusnya ditanamkan oleh orangtua sejak anak masih kecil. Cara yang paling mudah adalah mendongeng melalui buku cerita. Setelah seorang anak dapat membaca, diharapkan mereka akan berusaha mengetahui isi bacaan tanpa menunggu didongengi. Pada gilirannya mereka akan tertarik untuk membaca.
Faktor selanjutnya yang juga sangat berpengaruh adalah pendidikan di sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Pendidikan di sekolah mendorong anak membaca karena tuntutan pelajaran. Sementara, lingkungan turut mendorong minat baca karena seorang anak melakukan kegiatan sesuai yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya. Anak menjadi rajin membaca jika masyarakat di sekitarnya melakukannya.
Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. dalam tulisannya dengan judul “Minat Baca dan Kualitas Bangsa” di Harian Kompas Selasa, 23 Maret 2004, menyatakan: “ Secara teoritis ada hubungan yang positif antara minat baca (reading interest) dengan kebiasaan membaca (reading habit) dan kemampuan membaca (reading ability). Rendahnya minat baca masyarakat menjadikan kebiasaan membaca yang rendah, dan kebiasaan membaca yang rendah ini menjadikan kemampuan membaca rendah. Itulah yang sedang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini.”
Faktor-faktor berikut ditengarai menghambat peningkatan minat baca dalam masyarakat dewasa ini (Leonhardt, 1997):

  1. Langkanya keberadaan buku-buku anak yang menarik terbitan dalam negeri
  2. Semakin jarangnya bimbingan orang tua yang suka mendongeng sebelum tidur bagi anak-anak. Padahal kebiasaan ini merupakan kebiasaanya jaman dulu banyak dilakukan orang tua.
  3. Pengaruh televisi yang bukannya mendorong anak-anak untuk membaca, tetapi lebih betah menonton acara-acara televisi.
  4. Harga buku yang semakin tidak terjangkau oleh kebanyakan anggota masyarakat
  5. Kurang tersedianya taman-taman bacaan yang gratis dengan koleksi buku yang lengkap dan menarik.

Pernyataan dan fenomena diatas sangat relevan direnungkan dalam rangka meningkatkan kecerdasan bangsa.
Di lingkungan jalur pendidikan sekolah promosi membaca hendaknya dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk meningkatkan minat baca di sekolah ada dua permasalahan yang mendasar harus diperhatikan yaitu:

1. Penyediaan dan Pembinaan Perpustakaan Sekolah yang Baik dan Lengkap
Secara umum kondisi perpustakaan sekolah saat ini masih belum memuaskan, banyak yang harus dibenahi. Negara kita adalah negara dengan penduduk besar dengan jumlah sekolah lebih dari 200.000 sekolah dari SD hingga SLTA. Pembenahan perpustakaan sekolah sebanyak itu tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu pembenahan tersebut harus dilakukan secara bertahap. Beberapa hal yang perlu dilakukan antara lain adalah:

  • Pembenahan ruang perpustakaan
  • Pembinaan koleksi perpustakaan yang terdiri dari buku pelajaran pokok, buku pelajaran pelengkap, buku bacaan, dan buku sumber.
  • Tenaga pengelola perpustakaan sekolah

2. Kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan minat baca
Disamping pembinaan perpustakaan sekolah, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan minat baca adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan minat membaca. Kegiatan tersebut dapat dikembangkan, dan sangat bergantung kepada kreativitas dan inisiatif tenaga pendidik di sekolah. Beberapa kegiatan yang dianjurkan adalah:

  • Agar guru pustakawan menerbitkan daftar buku anak-anak
  • Mengundang pustakawan dan para guru agar beerjasama dalam merencanakan kegiatan promosi minat baca.
  • Mengorganisasi lomba minat baca di sekolah.
  • Memilih siswa teladan yang telah membaca buku terbanyak.
  • Melaksanakan program wajib baca di sekolah.
  • Menjalin kerjasama antar perpustakaan sekolah.
  • Memberikan tugas baca setiap minggu dan melaporkan hasil bacaannya.
  • Menceritakan orang-orang yang sukses sebagai hasil membaca.
  • Menugaskan siswa untuk membuat abstrak dari buku-buku yang dibaca.
  • Menugaskan siswa belajar ke perpustakaan apabila guru tidak hadir.
  • Menerbitkan majalah/buletin sekolah.
  • Mengajarkan teknik membaca kepada siswa.
  • Memberikan waktu khusus kepada siswa untuk membaca.
  • Menyelenggarakan pameran buku secara periodik.
  • Dan lain-lain.

Di lingkungan pendidikan luar sekolah (pendidikan non formal) maka perpustakaan umum harus memegang peranan penting dalam pembinaan minat atau gemar membaca. Beberapa layanan yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus antara lain adalah:
1. Layanan Anak
Sesuai dengan tugas dan fungsi perpustakaan umum yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui pendayagunaan koleksi bahan pustaka untuk keperluan pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan, dan rekreasi, maka salah satu layanan yang diselenggarakan oleh perpustakaan umum adalah layanan anak atau juga dikenal dengan seksi anak-anak. Berbagai kegiatan disiapkan untuk kebutuhan anak-anak dari pemilihan bahan pustaka sampai kepada pelayannya disesuaikan untuk anak menurut usia dan selera anak-anak.
Bahan bacaan anak usia balita lebih ditekankan pada gambar (picture books) tanpa teks. Anak balita banyak tertarik pada gambar dan warna-warna yang menyolok. Setelah usia sekolah dasar anak diperkenalkan dengan huruf dan angka. Oleh karena itu koleksi untuk anak usia ini adalah buku-buku yang banyak gambar dan berwarna-warni, namun sudah mulai ada sedikit teks. Anak-anak tumbuh dan berkembang sehingga mereka membutuhkan bacaan-bacaan. Penyediaan bacaan yang tepat adalah menjadi tanggung jawab pustakawan agar anak tertarik dan gemar membaca. Anak-anak harus menemukan kepuasan dalam membaca, karena itu pustakawan tidak boleh mengabaikan selera anak. Anak-anak membutuhkan bacaan hiburan, informasi, dan hal-hal yang menarik dari lingkungannya. Televisi dan teknologi informasi telah banyak mengubah kehidupan anak-anak modern seperti sekarang ini termasuk bahan bacaannya. Oleh karena itu bacaan anak-anak perlu disesuaikan dengan dunia anak-anak saat ini.
Jenis layanan anak-anak di perpustakaan umum meliputi:
- Layanan membaca
Selain meminjamkan bahan pustaka anak-anak, perpustakaan umum menyediakan layanan anak-anak Balita dan anak-anak sampai usia 12 tahun. Mereka diarahkan untuk mengembangkan imajinasi, meningkatkan minat baca dan gemar belajar serta rekreasi yang mendidik.
- Bimbingan membaca
Layanan ini diperlukan bagi anak-anak yang membutuhkan bacaan khusus namun sulit untuk mendapatkannya. Anak-anak diperkenalkan kepada buku secara bertahap yaitu dengan memberikan buku bergambar tanpa teks. Setelah mengenal huruf mereka diberi buku bergambar dengan teks sederhana dan mudah dibaca. Setelah lancar membaca maka mereka diberi buku dengan teks yang lebih banyak daripada gambar sampai kepada buku yang hanya terdiri dari teks saja. Untuk acara bimbingan membaca ini perlu dilakukan secara terencana dengan jadwal yang teratur sehingga tidak mengganggu jam pelajaran sekolah.
- Layanan referens anak
Layanan kepada anak-anak perlu juga dilengkapi dengan layanan referens. Anak-anak perlu diperkenalkan kepada buku-buku referens sejak dini. Bahan referens untuk anak-anak mencakup ensiklopedia, kamus, atlas dan lain-lain. Pustakawan yang bertugas di bagian referens anak-anak dapat memberi bimbingan bagaimana mencari informasi, cara menggunakan buku referens dan menjawab pertanyaan anak-anak.
- Acara mendongeng
Layanan mendongeng ini biasanya sangat digemari anak-anak terutama usia balita dan usia awal sekolah dasar. Pada usia ini anak-anak memiliki rasa ingin tahu. Karena itu sangat tepat bila pada usia ini diperkenalkan buku-buku yang sesuai dengan alam pikiran anak-anak. Buku tersebut dapat dibacakan oleh pustakawan dengan cara seperti mendongeng.
Pustakawan (atau dapat bekerjasama dengan guru TK atau SD) harus menggunakan koleksi dan alat peraga yang ada di perpustakaan dalam mendongeng. Pembawa cerita harus mempunyai pengetahuan tentang bacaan anak-anak yang akan disampaikan.
Waktu untuk melaksanakan acara mendongeng harus disesuaikan dengan waktu berkunjung anak ke perpustakaan, biasanya waktu libur. Jadwal acara mendongeng tersebut harus diumumkan di bagian pelayanan sehingga anak-anak tahu kapan mereka harus berkunjung apabila ingin mendengarkan dongeng tersebut.
- Pertunjukan atau pemutaran film
Perpustakaan umum yang memiliki berbagai kegiatan untuk layanan anak-anak sebaiknya melaksanakan pertunjukan film anak-anak. Untuk menyelenggarakan acara pemutaran film ini perpustakaan dapat bekerjasama dengan perpustakaan lain yang lebih besar yang memiliki koleksi film yang lebih lengkap dan memiliki peralatan pemutar film. Saat ini pemutaran film dapat menggunakan alat pemutar VCD atau DVD yang diproyeksikan ke layar melalui LCD proyektor. Beberapa film anak-anak juga tersedia dalam bentuk VCD atau DVD.
Beberapa jenis film dengan tema sejarah, flora dan fauna, alam, pengenalan tentang negara, penemuan ilmiah dan ruang angkasa dapat menjadi pilihan untuk diputar.
2. Layanan Remaja
Perbedaan antara layanan anak-anak dengan layanan remaja, setingkat lebih tinggi dalam menyediakan bahan pustaka yaitu yang sesuai dengan selera anak remaja. Anak remaja berbeda dengan anak-anak balita. Anak remaja sudah mulai mengenal identitas dirinya sehingga perpustakaan harus menyediakan bahan bacaan yang mengarah kepada bacaan yang dapat mendorong mereka kreatif dan bacaan yang berisi tokoh-tokoh panutan, misalnya biografi atau sejarah tokoh-tokoh terkenal, tokoh pahlawan dan lain-lain.
Kemampuan remaja dalam hal meneliti, mengevaluasi dan memperkaya apresiasi terhadap media komunikasi juga sudah mulai berkembang. Kebiasaan membaca pada remaja seperti ini akan menjadi modal untuk terus mengembangkan kemampuannya. Kebiasaan membaca remaja ini harus dipelihara oleh perpustakaan dengan cara menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain bahan bacaan yang sesuai dengan selera remaja, bahan bacaan yang harus disediakan harus pula mendukung kurikulum sekolah baik roman, fiksi maupun maupun non fiksi yang mencakup pengetahuan populer yang bermanfaat bagi remaja.
3. Layanan Kelompok Pembaca Khusus
Selain layanan anak dan remaja perpustakaan umum juga biasanya menyelenggarakan layanan khusus yang diberikan kepada masyarakat yang berada di lembaga pemasyarakatan, panti asuhan, panti jompo, penyandang cacat seperti tuna netra dan tuna rungu, serta petugas yang terpencil seperti guru, penjaga mercu suar dan perbatasan. Untuk menyelenggarakan layanan khusus seperti ini diperlukan persiapan dan perencanaan yang matang sehingga apa yang disampaikan sesuai dengan masyarakat yang dilayaninya. Beberapa pertimbangan diperhatikan seperti:
- Kebutuhan, selera, pendidikan, usia dan keamanan/ ketertiban pembaca
- Waktu pelayanan pada setiap lokasi tentu tidak tiap hari karena kondisi mereka yang berbeda dengan masyarakat yang berbeda dengan masyarakat umumnya
- Petugas layanan pada unit layanan khusus harus lebih terampil dan mempunyai kesabaran yang tinggi serta luwes dalam mengambil keputusan.
Layanan khusus bagi masyarakat tersebut bukan hanya bertujuan agar mereka terampil menggunakan perpustakaan, namun lebih dari itu agar masyarakat tersebut mendapatkan tambahan pengetahuan, sehingga rasa percaya diri mereka dapat tumbuh dan mereka yakin dapat berbaur dengan masyarakat lain di luar lingkungannya.
4. layanan perpustakaan keliling
Layanan perpustakaan keliling merupakan layanan ekstensi atau perluasan layanan dari perpustakaan umum. Perpustakaan keliling ini dilakukan baik melalui kendaraan darat, laut dan sungai, bahkan melalui udara. Layanan perpustakaan keliling dilakukan dengan angkutan dari yang sederhana sampai kepada kendaraan modern. Misalnya saja ada perpustakaan keliling yang masih menggunakan sepeda, sepeda motor, namun juga ada yang menggunakan bus atau truk dan sudah dilengkapi dengan komputer yang bisa akses ke internet. Mobil perpustakaan keliling ini sekarang dikenal dengan nama mobil library. Mobil library atau perpustakaan bergerak/ keliling sangat efektif sebagai sarana layanan perpustakaan umum. Penyelenggaraan perpustakaan keliling ini bertujuan untuk mendekatkan koleksi kepada pemakainya, sebab banyak pemakai yang tinggal jauh dari perpustakaan tidak berkesempatan mengunjungi perpustakaan. Padahal mereka juga membutuhkan layanan perpustakaan
Sarana mobil unit perpustakaan keliling telah digunakan oleh semua negara di dunia untuk melayani masyarakat yang jaraknya jauh dari jangkauan layanan perpustakaan umum. Meskipun demikian pada negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dengan segala daya memberikan pelayanan perpustakaan kepada masyarakat terpencil atau daerah kumuh seperti kota-kota yang berpenduduk padat dan berekonomi lemah sehingga tidak mampu menyediakan bahan bacaan bagi keluarganya.
Dalam menyelenggarakan layanan perpustakaan keliling ini perpustakaan perlu merencanakan jadwal pelayanan mobil unit perpustakaan keliling untuk melayani beberapa lokasi yang jaraknya berjauhan dari perpustakaan umum dan sekolah-sekolah yang belum memiliki perpustakaan. Setiap mobil keliling membawa kotak sebanyak lokasi layanan (service point) dan atau kelompok-kelompok pembaca. Setiap kotak berisi judul buku yang berbeda-beda dengan kotak lain sehingga bisa dirotasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya sesuai aturan yang telah dijadwalkan oleh pustakawan. Pustakawan menyusun jadwal dan merencanakan pelaksanaan di lapangan agar mobil unit perpustakaan keliling berjalan lancar.
Kegiatan pengembangan layanan perlu didukung dengan pengembangan koleksi berupa bacaan-bacaan kreatif, dan bacaan-bacaan lokal seperti cerita rakyat tentang kejadian sebuah kota atau desa dan lain-lain.

5. Penutup
Dengan memahami usaha-usaha yang mendasar dalam meningkatkan minat atau gemar membaca tersebut sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa dua hal yang paling penting dalam usaha menanamkan dan menumbuhkan minat atau gemar membaca adalah menyangkut pengadaan sarana yang menyediakan sumber-sumber informasi. Selain itu perlu ada usaha-usaha dari pihak yang berkepentingan seperti sekolah, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dan instansi lain yang terkait khususnya untuk mendorong masyarakat agar membaca secara berkesinambungan.
Menyadari pentingnya usaha-usaha seperti yang disebut di atas, sekaligus memahami bahwa pelaksanaan usaha tersebut tidak mudah dan menuntut perencanaan dan pelaksanaan yang lama, maka kiranya usaha tersebut perlu secara terus menerus diupayakan oleh berbagai pihak, khususnya pihak yang berhubungan langsung dengan kegiatan pendidikan baik pendidikan formal dalam hal ini guru dan guru pustakawan, maupun pendidikan non formal (luar sekolah) seperti pustakawan di perpustakaan umum.

6. Daftar Pustaka
Bunanta, Murti. 2004. Buku, mendongeng dan minat membaca. Pustaka Tangga. Jakarta. 232 p.

Credé, Andreas. 1998. Knowledge societies . . . in a nutshell : information technology for sustainable development. Ottawa: International Development Research Centre.

Djazuli, A. Promosi Membaca di Lingkungan Lembaga Pendidikan Formal. Seminar Nasional Promosi Gemar Membaca, Jakarta 30 Mei – 1 Juni 1994.

Kartosedono, Soekarman. 1992. Prospek Perbukuan di Masa Mendatang. Dalam. Kepustakawanan Indonesia: Potensi dan Tantangan. Jakarta: Kesaint Blanc. p126-148.

Leonhardt, Mary. 1999. 99 cara menjadikan anak anda “keranjingan” membaca. Mizan. Bandung. 176 p.

Ribuan Lulusan SD dan SMP tak Bisa Sekolah. Republika Online. http://www.republika.co.id/ koran_detail.asp?id=205925&kat_id=61&kat_id1=&kat_id2=. Diakses tanggal 23 Agustus 2005.

Saleh, Abdul Rahman dkk (2004). Kajian Penerbitan Buku di Indonesia Tahun 2002 dan 2003. Jakarta: Kerjasama Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB.

Saleh, Abdul Rahman dkk (1997). Penelitian Minat Baca Masyarakat di Jawa Timur. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Saleh, Abdul Rahman dkk (1996). Penelitian Minat Baca Masyarakat di Pulau Batam. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Santoso, Guritnaningsih A. 2000. Studi Perkembangan Koknitif Anak Indonesia. Harian Kompas, Rabu, 26 Juli. Jakarta

Supriyoko, Ki. 2004. Minat Baca dan Kualitas Bangsa. Harian Kompas, Selasa, 23 Maret. Jakarta.

Widjanarko, Putut. 2000. Elegi Guterenberg : memposisikan buku di era cyberspace. Mizan. Bandung. 248 p.

[1] Disampaikan pada acara Seminar dan Lokakarya Peningkatan Budaya Gemar Membaca, Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Bogor, 28 Juli 2005

[2] Pustakawan Madya pada Perpustakaan Institut Pertanian Bogor dan Ketua Bidang Perpustakaan Perguruan Tinggi, Pengurus Pusat Ikatan Pustakawan Indonesia periode 2002 – 2006.