Buletin Perpustakaan dan Informasi Bogor - opini

Wednesday, May 31, 2006

Perpustakaan di Era Masyarakat Berilmu Pengetahuan

oleh: Janti G. Sujana; Kudang B. Seminar; Syafrida Manuwoto

Pendahuluan
Di Indonesia sudah beberapa tahun terakhir ini dibicarakan masalah era informasi. Bahwa begitu banyak publikasi beredar di berbagai belahan dunia ini, sehingga terjadi ledakan informasi dan timbul istilah era informasi. Itulah yang banyak dituliskan orang dalam berbagai publikasi. Kemudian bagaimana era informasi itu berpengaruh pada masyarakat Indonesia ?
Dalam sebuah masyarakat informasi, ada aliran bebas dari komunikasi dua arah diantara pemerintah dan rakyatnya, diantara rakyatnya sendiri. Dalam sebuah masyarakat yang demikian, setiap orang diinformasikan kejadian-kejadian mutakhir, terutama yang mempunyai akibat langsung terhadap mereka, dan setiap orang mempunyai kemampuan untuk membuat suara mereka didengar. Karena itu, setiap orang mempunyai suara dalam pembentukan rencana-rencana sosio-ekonomis dan berbagai strategi dalam hal-hal yang berkaitan secara nasional (Rahim, 2004). Masih menurut Rahim (2004), masyarakat informasi telah diciptakan merujuk kepada komunitas dimana ada kesiapan untuk mengakses informasi dan pengetahuan, menuju kepada kesempatan yang berkelanjutan dan berkeadilan untuk pertumbuhan dan kemajuan.
Dari pernyataan Rahim berkaitan dengan masyarakat informasi tersebut, terlihat jelas masyarakat Indonesia belum bisa dikatakan masyarakat informasi. Seringkali suara rakyat tidak didengar, bahkan masih banyak yang tidak tahu bahwa mereka itu mempunyai hak untuk didengar suaranya dalam memutuskan nasib mereka. Begitu juga dengan kesiapan untuk mengakses informasi dan pengetahuan, masih sangat banyak rakyat Indonesia yang buta informasi. Perpustakaan umum dan perpustakaan jenis lainnya masih sepi dari pengunjung, disamping memang koleksi perpustakaan tersebut banyak yang tidak menarik minat masyarakat, dan perpustakaan pun tidak mempromosikan layanan yang bisa diberikan kepada masyarakat. Pada umumnya perpustakaan perguruan tinggi yang cukup banyak dimanfaatkan oleh pengguna, itupun karena mahasiswa harus menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Begitu juga dengan oplah surat kabar di Indonesia masih rendah, dibandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia. Jadi masih banyak rakyat yang tidak mempunyai pengetahuan tentang apa yang terjadi di sekitar mereka. Berbicara mengenai akses masyarakat terhadap pengetahuan secara formal, artinya akses masyarakat terhadap pendidikan, kondisinya pun tidak jauh berbeda. Bahkan akses masyarakat terhadap pendidikan formal semakin parah, apa lagi setelah terjadinya krisis multidimensi yang melanda Indonesia berkepanjangan. Semakin banyak anak-anak yang putus sekolah dan menjadi buruh dengan bayaran yang murah, atau bahkan berkeliaran di jalan menjadi pengamen atau pengemis.
Sementara itu bila kita browsing internet atau membaca buku dan artikel dari luar negeri, terutama negara-negara maju, banyak dibicarakan knowledge worker, knowledge society, dan knowledge economy. Makalah ini akan difokuskan kepada knowledge society, walaupun ada sedikit penjelasan akan kaitannya dengan istilah yang lain itu.
Apakah Knowledge Society itu ?
Menurut Drucker (1994), knowledge society adalah sebuah masyarakat dari berbagai organisasi dimana secara praktis setiap tugas tunggal akan dilakukan dalam dan melalui sebuah organisasi. Ciri-ciri masyarakat berpengetahuan adalah:
· Mempunyai kemampuan akademik
· Berpikir kritis
· Berorientasi kepada pemecahan masalah
· Mempunyai kemampuan untuk belajar meninggalkan pemikiran yang lama-lama dan belajar lagi untuk hal-hal yang baru
· Mempunyai keterampilan pengembangan individu dan sosial (termasuk kepercayaan diri, motivasi, komitmen terhadap nilai-nilai moral dan etika, pengertian secara luas akan masyarakat dan dunia) (Manuwoto, 2005)
Dalam masyarakat berpengetahuan, bukanlah individu yang berkinerja, tetapi organisasi yang berkinerja. Seorang dokter misalnya, tentu mempunyai banyak pengetahuan. Tetapi dokter itu tidak dapat berfungsi tanpa pengetahuan yang diberikan oleh disiplin ilmu lainnya, yaitu fisika, kimia, genetika, dan lain sebagainya. Dokter itu tidak dapat berfungsi tanpa hasil-hasil tes yang dilakukan oleh para ahli laboratorium tes darah, X-ray (rontgen), scanning otak, dan lain-lain. Di sisi lain, berbagai keahlian tertentu, seperti seorang dokter bedah syaraf, contoh dari knowledge worker, hanya bisa dihasilkan dari sekolah formal. Dengan demikian pendidikan menjadi pusat dari masyarakat berpengetahuan dan sekolah merupakan institusi kuncinya. Pernyataan itu diperkuat oleh Noel Dempsey (Minister for Education and Science, Ireland, 2004) bahwa untuk bisa kompetitif dalam ekonomi berpengetahuan global (global knowledge economy), semua pengambil keputusan untuk publik harus fokus pada pendidikan sebagai faktor kunci dalam memperkuat daya saing, lapangan kerja dan keterpaduan sosial. Drucker (1994) memperkuat kesimpulan itu dengan menyatakan bahwa pekerja berpengetahuan lebih mempunyai kesempatan memperoleh akses terhadap pekerjaan dan posisi sosial melalui pendidikan formal (Drucker, 1994).
Tujuan utama dari pendidikan adalah untuk memberikan kepada setiap orang kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya sampai maksimum, baik sebagai individu maupun sebagai seorang anggota masyarakat. Seorang yang berpendidikan akan menjadi seseorang yang telah belajar bagaimana untuk belajar, dan keseluruhan masa kehidupannya terus belajar, terutama masuk dan keluar dari pendidikan formal (Drucker, 1994).
Transformasi dari struktur masyarakat yang ada, dengan pengetahuan sebagai sumber daya utama untuk pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan dan sebagai faktor dari produksi, merupakan basis untuk menandai masyarakat modern yang maju sebagai sebuah "masyarakat berpengetahuan." Dalam sebuah masyarakat berpengetahuan ukuran-ukuran lama dalam persaingan seperti biaya tenaga kerja, sumbangan sumber daya dan infrastruktur digantikan oleh dimensi-dimensi seperti paten, penelitian dan pengembangan, serta ketersediaan pekerja berpengetahuan.
Untuk masyarakat berpengetahuan, jelas semakin banyak dibutuhkan penguasaan pengetahuan, terutama pengetahuan tingkat lanjut. Pengetahuan itu dibutuhkan oleh orang-orang yang pasca usia sekolah, dan kebutuhan itu terus meningkat, di dalam dan melalui proses pendidikan yang tidak berpusat pada sekolah tradisional, tetapi pendidikan berkelanjutan yang sistematik yang ditawarkan pada tempat bekerja.
Dalam masyarakat berpengetahuan, akses terhadap kepemimpinan terbuka untuk semua orang. Akses terhadap kemahiran dari pengetahuan tidak lagi tergantung kepada perolehan pendidikan yang ditentukan pada usia tertentu. Pembelajaran akan menjadi alat dari individu yang tersedia baginya pada usia berapa pun, karena begitu banyak keterampilan dan pengetahuan dapat diperoleh dengan cara-cara pemanfaatan teknologi pembelajaran baru. Implikasi lainnya adalah bahwa kinerja dari seorang individu, sebuah organisasi, sebuah industri atau sebuah negara dalam perolehan dan penerapan pengetahuan akan meningkat menjadi faktor kunci persaingan untuk berkarir dan memperoleh kesempatan dari para individu untuk berkinerja. Masyarakat berpengetahuan akan tak terelakkan menjadi jauh lebih kompetitif daripada masyarakat di masa-masa yang lalu. Dengan pengetahuan yang dapat diakses secara universal tidak ada alasan untuk tidak berkinerja. Tidak akan ada negara-negara miskin. Hanya akan ada negara-negara yang terabaikan.
Pusat kekuatan tenaga kerja dalam masyarakat berpengetahuan akan terdiri dari orang-orang dengan spesialisasi yang tinggi. Dalam dunia kerja berpengetahuan, orang-orang dengan pengetahuan mempunyai tanggung jawab untuk membuat dirinya dimengerti oleh orang-orang yang tidak mempunyai basis pengetahuan yang sama. Sebenarnya investasi dalam masyarakat berpengetahuan bukanlah dalam mesin-mesin dan peralatan. Tetapi dalam pengetahuan dari pekerja berpengetahuan. Tanpa itu, mesin-mesin yang sangat maju dan canggih, tidak akan produktif.
Pengetahuan dalam masyarakat berpengetahuan haruslah sangat mempunyai spesialisasi untuk menjadi produktif. Ini mengakibatkan dua persyaratan baru: 1. pekerja berpengetahuan bekerja dalam kelompok-kelompok; dan 2. pekerja berpengetahuan harus mempunyai akses terhadap sebuah organisasi yang, dalam kebanyakan kasus, artinya pekerja berpengetahuan harus menjadi pekerja dari sebuah organisasi.
Karena masyarakat berpengetahuan mensyaratkan sebuah masyarakat dari berbagai organisasi, yang organ sentral dan khususnya adalah manajemen. Semua organisasi itu membutuhkan manajemen apakah mereka menggunakan istilah itu atau tidak. Semua manajer mengerjakan hal yang sama apa pun bisnis dari organisasi mereka. Para manajer itu harus membawa orang-orang yang masing-masing mempunyai pengetahuan yang berbeda, bersama untuk berkinerja bersama. Intisari dari manajemen adalah membuat pengetahuan menjadi produktif (Drucker, 1994).
Peran Teknologi Informasi dan Komunikasi
Fakta yang terjadi sekarang ini bahwa negara-negara industri menjadi masyarakat berbasis pengetahuan. Timbul pertanyaan tentang peran teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam membangun "masyarakat berpengetahuan" yang inovatif dalam dunia yang berkembang. Sebuah kesimpulan sentral adalah bahwa TIK dapat memberikan kontribusi utama terhadap pengembangan berkelanjutan, tetapi peluang ini akan diikuti oleh resiko utama. Sebagai contoh, negara-negara yang sangat lamban perkembangannya menghadapi resiko yang besar dari keterasingan karena mereka sering kurang kemampuan sosial dan ekonomi yang dibutuhkan untuk mengambil kelebihan dari inovasi dalam TIK. Negara-negara berkembang perlu mencari jalan untuk mengkombinasikan kompetensi mereka dalam teknologi dan sosial yang ada, jika mereka ingin mengambil keuntungan dari banyak kelebihan potensial dari TIK.
Pengembangan berbasis pengetahuan adalah sebuah proses yang kompleks dalam mengkombinasikan unsur-unsur teknologi dan sosial (termasuk kompetensi sumber daya manusianya) dalam cara yang produktif, untuk menciptakan infrastruktur informasi nasional. Berbagai strategi untuk membangun infrastruktur informasi nasional haruslah lebih daripada pernyataan-pernyataan tentang apa yang harus dilakukan. Para pengambil keputusan harus berorientasi pada aksi dan dibiayai dengan tepat.
Untuk negara-negara berkembang, membangun "masyarakat berpengetahuan" yang inovatif melibatkan berbagai inisiatif dalam dua area utama - pembangunan infrastruktur TIK yang pokok, dan penciptaan kondisi-kondisi yang akan mendorong pembangunan berbagai kompetensi sosial dalam bidang-bidang tertentu. Indonesia sebagai negara agraris justru masih minim dalam penyediaan informasi dan pengetahuan praktis dan strategis yang relevan dengan bidang pertanian. Padahal untuk mengangkat masyarakat agraris (petani) konvensional menjadi petani berpengetahuan adalah dengan penyediaan sistem repositori pengetahuan yang mudah dan merata dijangkau oleh masyarakat. Disini peran TIK dapat didayagunakan untuk tujuan pemberdayaan sumberdaya manusia yang berpengatahuan dan profesional (Seminar 2002, Seminar 2004, Seminar 2005). Level konsumsi informasi dengan berbagai interaksi dengan melihat, membaca, mendengar, dan berbuat (by seeing, reading, hearing, and doing) berbasis TIK (Seminar 2002, Seminar 2004) harus diakomodir melalui perpustakaan. Investasi dalam infrastruktur TIK perlu dilakukan secara paralel dengan investasi dalam berbagai kompetensi sosial yang timbul dari infrastruktur sosial dan institusional, termasuk pendidikan dan pengetahuan teknis, begitu juga dengan institusi-institusi politik, ekonomi, kultural, dan sosial di negara-negara berkembang. Namun demikian, investasi pada akumulasi teknologi dan keterampilan tidak menjamin bahwa berbagai strategi untuk membangun "masyarakat berpengetahuan" yang inovatif akan efektif atau masuk akal.
Banyak kesempatan untuk semua negara di tahun-tahun mendatang untuk memanfaatkan yang terbaik dari potensi yang ditawarkan oleh TIK dalam mendukung sasaran pengembangan utama mereka. Hal itu berlaku untuk sasaran pada peningkatan mutu kehidupan dan keberlanjutan lingkungan di negara-negara industri. Itu juga berlaku untuk sasaran pada pengurangan kemiskinan dan menyumbang pada pengembangan berkelanjutan di negara-negara terbelakang dan berkembang. Pemanfaatan berbagai sarana TIK secara inovatif bisa memberikan titik awal untuk pengembangan "masyarakat berpengetahuan" secara inovatif.
Peran potensial dari TIK di negara-negara berkembang: 1) TIK merupakan sarana untuk pengembangan, tetapi penggunaan yang efektif mensyaratkan investasi dari kombinasi kompetensi sosial dan teknologi; 2) Pemanfaatan TIK akan memberikan keuntungan terhadap investasi yang jauh lebih baik; 3) Kemampuan untuk menggerakkan investasi dalam TIK dan pemanfaatannya secara efektif berbeda pada masing-masing negara berkembang; 4) Idealnya, investasi-investasi tersebut diusahakan simultan, tetapi bila tidak mungkin, investasi dalam kompetensi sosial seharusnya diprioritaskan; 5) kemitraan yang baru dibutuhkan sehubungan dengan berbagai koordinasi, mobilisasi investasi, mengatasi berbagai masalah sosial di negara-negara berkembang.
Tantangan untuk pengambil keputusan negara berkembang adalah menciptakan kerangka kebijakan yang membangkitkan, mendukung, dan membebaskan kemampuan rakyat untuk memanfaatkan TIK untuk menghasilkan pengetahuan dan sumber daya lainnya yang bermanfaat.
Dimana Peran Perpustakaan ?
Masyarakat Indonesia masih belum mencapai knowledge society. Lihat saja tenaga kerja Indonesia yang mencari kerja di negara-negara lain, mereka menjadi buruh, pembantu rumah tangga, supir, bukan knowledge worker. Akibatnya mereka banyak diperlakukan dengan kasar, tidak adil, bahkan ada yang upahnya tidak dibayar. Sementara di dalam negeri, pemilihan kepala daerah saja menjadi ajang perkelahian. Berbagai kekerasan terjadi akibat hasutan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Disamping itu masyarakat masih ditimpa oleh berbagai bencana alam, bencana penyakit yang banyak memakan korban jiwa. Mengapa semua itu terjadi ? Salah satunya adalah akibat dari masyarakat kita tidak berpengetahuan, belum menjadi knowledge society.
Bila tenaga kerja kita sudah menjadi knowledge worker, mereka bisa bekerja di kantor-kantor dengan upah yang tinggi, menjadi perawat di rumah sakit yang masih dibutuhkan di berbagai negara dengan bayaran yang tinggi. Bila masyarakat kita sudah berpengetahuan, mereka tidak mudah dihasut, tidak mudah dirayu dengan money politic. Mereka memilih para calon kepala daerah dengan kesadaran akan akibat yang timbul bila mereka memilih orang yang salah. Masyarakat yang berpengetahuan sudah memiliki informasi gejala-gejala alam sebelum adanya bencana yang lebih dahsyat. Mereka sudah dapat menjaga lingkungan dengan lebih baik, agar kesehatan mereka terjaga. Mereka tidak tinggal diam bila pemerintahnya melakukan hal-hal yang merusak lingkungan, dan pemerintahnya tidak bisa memaksakan kehendaknya secara semena-mena.
Lalu bagaimana kita membangun masyarakat berpengetahuan di Indonesia ? Menurut para pakar, salah satu kunci membangun knowledge society adalah melalui pendidikan. Selain pendidikan formal, masyarakat pun memerlukan pendidikan berkelanjutan, life long education. Perpustakaan bisa berperan dalam pendidikan berkelanjutan ini, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah. Yang menjadi masalah, masyarakat itu belum mengenal bagaimana memanfaatkan perpustakaan. Mereka juga belum mempunyai kebiasaan membaca. Dengan demikian pustakawan harus bekerja dengan lebih kreatif lagi.
Seperti yang terjadi di dunia komersil, bahwa yang namanya memasarkan itu memang harus aktif, kreatif dan inovatif. Walaupun perpustakaan bukanlah lembaga komersil, namun jurus-jurus pemasaran bisa diterapkan juga. Bila masyarakat tidak datang ke perpustakaan, maka perpustakaanlah yang mendatangi masyarakat. Perpustakaan keliling bisa dijadikan salah satu sarana, tetapi tidak cukup dengan hanya sarana itu. Pustakawannya harus aktif mengumpulkan anak-anak, remaja, pemuda-pemudi yang putus sekolah, dan para ibu-ibu dalam kelompok-kelompok terpisah. Pustakawan perlu memilihkan bahan pustaka yang diduga diperlukan oleh kelompok-kelompok masyarakat di kampung-kampung. Dengan demikian pustakawan sebelumnya perlu melakukan kajian tentang masalah apa yang diminati oleh kelompok tertentu di suatu daerah. Misalkan di daerah itu banyak remaja perempuan yang bekerja di perusahaan garmen, maka pustakawan perlu membawa bahan pustaka yang ada hubungannya dengan peningkatan pengetahuan mereka soal menjahit, desain baju, pertekstilan, dan sebagainya. Tentunya mereka perlu juga diinformasikan tentang masalah kesehatan, lingkungan, hukum, dan lain sebagainya, setelah mereka tertarik untuk membaca bahan pustaka kebutuhan utama mereka. Awalnya mungkin sulit mengumpulkan mereka, tetapi kalau sudah ada yang merasakan manfaatnya, akan dengan sendirinya mereka berdatangan mencari perpustakaan. Satu tantangan di pihak perpustakaan, mampukah perpustakaan terus membeli bahan pustaka baru yang menarik minat masyarakat ?
Pustakawan perlu juga menggunakan media massa lokal untuk mensosialisasikan pelayanan perpustakaan. Menurut Rahim (2004), cara yang paling efektif dari segi biaya dalam mencapai komunikasi yang meresap sampai ke akar rumput dan tersebar luas adalah melalui media massa, dan terutama radio. Media tersebut sejauh ini yang paling meresap jangkauannya. Rakyat yang hidup di daerah pedesaan dalam banyak negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Karibia, sangat tergantung pada radio yang menghubungkan mereka dengan dunia yang lebih besar "di sebelah luar." Media yang sedang hangat dibicarakan saat ini, seperti internet, masih mengalami kendala di banyak pelosok kota kecil dan desa di negara-negara berkembang. Bahkan di kota-kota di Indonesia pun, walau sudah tersedia, namun kecepatan aksesnya masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu, media massa, dan stasiun radio khususnya, perlu berubah dari alur komersil dan sangat fokus pada rakyat pedesaan begitu juga dengan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya. Tujuan utamanya adalah menciptakan apa yang diistilahkan "pluralisme media," yang merefleksikan kebutuhan dari semua anggota masyarakat, dan terutama mereka yang suaranya sampai sekarang telah diabaikan.
Jadi melihat manfaat radio di atas, pustakawan perlu bekerja sama dengan stasiun radio lokal. Agar menarik, pengenalan perpustakaan pada awalnya di sela-sela acara interaktif dengan pendengar untuk meminta lagu. Bila sudah banyak penggemarnya, barulah acara perpustakaan ini bisa berdiri sendiri. Kejelian pustakawan diperlukan untuk memilih bahan pustaka yang menarik baik isi maupun format untuk dibacakan kepada para pendengar, yang ada manfaatnya juga bagi para pendengar tentunya.
Melihat peran perpustakaan untuk mewujudkan knowledge society, sepertinya semua ini mengarah kepada peran perpustakaan umum. Namun demikian bukan berarti bahwa perpustakaan umum bekerja sendiri, baik pustakawan dari berbagai jenis perpustakaan lain maupun koleksinya harus mendukung juga untuk dimanfaatkan dalam membangun knowledge society. Perpustakaan perlu secara kreatif dan dinamis diintegrasikan dengan berbagai portal ilmu pengetahuan yang relevan (Seminar 2005). Hal ini sangat vital, karena masyarakat berpengetahuan sangat eksploratif dalam penggalian informasi. Seyogyanyalah lautan ilmu pengetahuan yang ada di bumi ini dapat diintekoneksikan dan digunakan bersama untuk kemanfaatan yang lebih luas dan merata. Para pustakawan harus menggalang kekuatan untuk terwujudnya knowledge society di Indonesia. Sebagai contoh, sekarang ini berdiri Taman Pintar (perpustakaan) di stasion kereta api Bogor yang didirikan oleh Karang Taruna Nasional. Jadi pustakawan perlu juga mengajak berbagai pihak untuk segera mewujudkan knowledge society di Indonesia.
Merujuk kepada sasaran yang dituju yaitu terutama masyarakat akar rumput, maka koleksi yang akan banyak dimanfaatkan adalah koleksi berbahasa Indonesia. Sekarang ini di pasaran sudah cukup banyak tersedia bahan pustaka berbahasa Indonesia yang isinya ditujukan untuk masyarakat awam. Bila bahan pustaka itu banyak dibeli untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, maka akan berefek positif terhadap dunia penerbitan di Indonesia. Akan semakin banyak penulis tergugah untuk menghasilkan bacaan, dan penerbit pun bergairah untuk lebih banyak berproduksi.
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) sebagai payung dari semua perpustakaan di Indonesia harus mensosialisasikan program ini ke berbagai pihak, baik ke pemerintah pusat maupun kepada pemerintah daerah, agar memperoleh dukungan dari pihak-pihak tersebut. Perpusnas juga bisa mengkoordinasikan pengumpulan dana kepada berbagai pihak swasta ataupun negara-negara donor, mengingat Perpusnas berkedudukan di Jakarta, serta mempunyai power yang jauh lebih kuat untuk bernegosiasi dengan para penyandang dana dan pemegang kekuasaan. Dana yang terkumpul bisa disalurkan kepada perpustakaan yang mempunyai aktivitas yang keatif, tetapi tidak bisa memperoleh dana. Bila melihat dana yang dikumpulkan dalam bencana tsunami di Aceh, masih banyak orang yang mau memberikan sumbangan, asalkan pengelolaan hasil sumbangan transparan dan jelas terlihat manfaat yang diperoleh dari dana tersebut.
Penutup
Knowledge society di Indonesia harus terus dibangun, bila Indonesia tidak mau menjadi bangsa yang terabaikan. Pustakawan yang sehari-hari dikelilingi oleh informasi, harus bisa memanfaatkan apa yang dimilikinya untuk disebarluaskan kepada masyarakat di sekitarnya. Jangan menunggu lagi soal dana, mulailah dengan yang dimiliki, mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang (kata Aa Gym). Bila belum dicoba, bagaimana bisa diketahui kalau hal itu tidak akan berhasil ?
Tengku Mohd. Azzman Shariffadeen, sekretaris National Information Technology Council, Malaysia (dalam Amidon, 2001) menyatakan strategi pengembangan berbasis pengetahuan mensyaratkan: akses terhadap pengalaman kultural dan sosial manusia yang sangat beragam dalam rangka membangun tidak hanya masyarakat yang terinformasikan atau mempunyai pengetahuan yang banyak, tetapi juga yang bijak; mempunyai kompetensi dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan lokal, nasional, dan global; dan sebuah kerangka kerja kekuasaan institusional untuk mempromosikan dan mendorong kemitraan yang cerdas.

DAFTAR PUSTAKA

_______. Tools for Building 'Knowledge Societies.'
http://www.sussex.ac.uk/units/
spru/ink/kspdfs/ch13.pdf (diakses 14 Juni 2005)

_______. Knowledge Society. Dalam website: KnowNet Initiative.
http://www.cd
dc.vt.edu/knownet.what.html (diakses 14 Juni 2005)

Amidon, Debra M. 2001. Building Knowledge Societies: Spotlight on Kuala Lumpur Second Global Knowledge Partnership Conference (GKII).
http://www.entovation.com/whatsnew/knowledge-societies.htm (diakses 19 Juni 2005)

Dempsey, Noel. 2004. Building the Knowledge Society.
http://www.oecd.org/edu
Min2004 (diakses 10 Juni 2005)

Drucker, Peter F. 1994. Knowledge Work and Knowledge Society : the Social Transformations of this Century. http://

Manuwoto, Syafrida. 2005. Pendidikan Pascasarjana Jalur Profesi. Lokakarya IPB - STKS. Ciloto, 28 April 2005.

Rahim, Rinalia Abdul. 2004. Media & the Information Society.
http://www.??????

Seminar, K.B. 2002. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Multimedia di Bidang Industri Pertanian. Jurnal Teknologi Industri Pertanian, hal.58-68, vol.12, no.2, ISSN 0216-3160.

Seminar, K.B. 2004. Manajemen Layanan Perpustakaan Dengan Dokumen Multimedia. Jurnal Pustakawan Indonesia, hal.12-21, vol.4, no.1, ISSN 1410-5551.

Seminar, K.B. 2005. Integrasi Portal Sumberdaya Alam dengan Perpustakaan Agro Berbasis Internet. Jurnal Pustakawan Indonesia, hal.19-24, vol.5, no.1, ISSN 1410-5551.

Monday, May 08, 2006

Minat Baca Negeri Tetangga

Tanggal 21 April 2002 kira-kira pukul 12 siang waktu Singapore saya mendarat di Bandara Changi. Begitu menginjakkan kaki saya sudah merasakan adanya perbedaan suasana dengan Jakarta. Saya ke Singapore dalam rangka mengikuti Academic Library Seminar dan World Library Summit atas undangan dan biaya sepenuhnya ditanggung CONSAL. Begitu saya tiba di Bandara saya dijemput oleh salah seorang dari panitia. Dengan ramahnya sang penjemput menerima saya dan salah seorang rekan dari British Council. Kemudian kami diantar ke Hotel Carlton di Bras Basah Road, kira-kira 25 menit perjalanan taxi dari Bandara.

Sampai di hotel saya hanya istirahat sebentar. Kemudian teman dari BC mengajak jalan. Kami menuju National Library Board yang berdekatan dengan hotel dimana saya tinggal. Begitu masuk di pintu utama gedung perpustakaan itu kami dibuat terkagum-kagum. Pengunjung sudah diingatkan dengan library etiket. Peringatan tersebut digambar di lantai seperti switch off your handphones and pager, Speak softly at all time, Refrainn from having discussions in the library. Sedangkan yang berhubungan dengan bahan pustaka ada peringatan seperti Handle all library material with care, Return library materials to their original locations or sorting bins for the convinience of others, dan lain-lain. Masuk ke dalam makin dibuat terkagum-kagum. Kami sepertinya masuk ke supermarket. Padahal hari itu adalah hari Minggu. Disitu berkumpul anak-anak usia TK dan SD, remaja, sampai ke orang dewasa. Semua sibuk mencari bahan bacaan dan tentu saja membaca. Pengunjung perpustakaan juga disediakan keranjang seperti layaknya supermarket menyediakan keranjang buat calon pembeli. Apa artinya? Artinya, pengunjung perpustakaan memang diperbolehkan meminjam buku dalam jumlah yang banyak, bahkan mungkin tidak terbatas, sehingga diperkirakan akan kesulitan bila membawanya tanpa dibantu dengan keranjang. Semua koleksi dilayankan dengan terbuka. Tidak ada sistem layanan tertutup. Saya berpikir, inilah negara maju dan perpustakaannya yang modern. Hebat.

Saya juga melihat semua katalog sudah menggunakan komputer. Anak-anak kecil sampai orang dewasa tidak lagi canggung menggunakan peralatan canggih tersebut. Yang membuat saya kagum adalah bentuk meja OPACnya begitu khas dan menarik bagi siapapun yang melihat. Selain itu ada pojok informasi dimana disediakan komputer untuk informasi. Begitu efisien. Melihat salah satu sudut layanan, saya makin kagum lagi. Disitu pemakai perpustakaan bisa melakukan proses peminjaman dan pengembalian sendiri alias self service. “Gila”, kata saya saking kagumnya. Kapan bangsa saya bisa seperti ini.

Sorenya saya lanjutkan kunjungan saya ke Orchad Road. Tujuan utama saya sebenarnya adalah ke toko buku yang sangat besar yaitu Borders. Dalam perjalanan saya ke toko buku saya melewati trotoar yang sangat lebar sepanjang Orchad Road. Di sepanjang trotoar tersebut saya melihat banyak sekali tempat-tempat duduk, dimana banyak orang yang saya kira cukup berumur duduk-duduk disitu. Kontras sekali dengan yang saya lihat di perpustakaan tadi. Kemudian saya tanya kepada rekan perjalanan saya siapa kira-kira orang itu. Ternyata orang-orang yang duduk-duduk santai sambil makan makanan kecil itu adalah TKW. Ada yang dari Filipina, ada juga yang dari Indonesia. Tadinya saya ragu. Tapi secara tidak sengaja saya mendengar mereka berbicara dengan bahasa “Jawa”. Wah....benar juga cerita teman tadi. Dalam pikiran saya, seandainya orang-orang ini mau memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar atau membaca di perpustakaan, maka orang ini akan memperoleh dua manfaat datang ke negeri jiran ini. Selain mendapatkan uang atau penghasilan ia juga akan mendapatkan ilmu dan dapat memperluas wawasan. Tapi itulah bangsa kita yang memang tidak dididik untuk gemar membaca. Jangankan TKI, sarjana saja jarang membaca.

Singapore, 21 Maret 2002
Abdul Rahman Saleh