Buletin Perpustakaan dan Informasi Bogor - opini

Tuesday, August 22, 2006

CATATAN DARI PEMILIHAN PUSTAKAWAN TELADAN

Oleh:
Ir. Abdul Rahman Saleh, M.Sc.1)

Pemilihan pustakawan teladan tahun 2006 sudah berlalu. Telah terpilih enam pustakawan teladan dari 28 peserta wakil 28 provinsi dengan urutan Pustakawan Teladan tingkat pertama, kedua dan ketiga, serta pustakawan teladan harapan satu, dua dan tiga. Terlepas dari ada yang merasa puas dan ada pula yang tidak puas, maka kita harus bisa menerima keputusan tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya sebagai salah seorang juri.

Pertama, calon pustakawan teladan yang dikirim oleh provinsi mempunyai kemampuan yang sangat heterogen baik kemampuan pengetahuan umumnya (melalui ujian tertulis) maupun kemampuan interviewnya. Beberapa calon sepertinya tidak dipilih dengan baik di tingkat provinsi, bahkan saya ”curiga” ada calon yang hanya ditunjuk saja oleh perpustakaan provinsi.

Kedua, pemilihan di tingkat provinsi sepertinya dilakukan dengan sangat tergesa-gesa. Mungkin waktu yang diberikan oleh Perpustakaan Nasional tidak cukup banyak untuk melakukan pemilihan dengan baik.

Ketiga, calon yang dikirim tidak diberi ”bekal” setidak-tidaknya pengetahuan umum mengenai kepustakawanan Indonesia.

Keempat, semua calon yang dikirim adalah pustakawan PNS atau pustakawan fungsional versi Kepmenpan. Ini menimbulkan pertanyaan, mengapa perpustakaan non pemerintah tidak berpartisipasi? Apakah mereka tidak tahu, atau tidak diberi tahu? Kita tahu banyak pustakawan non pemerintah yang sangat berdedikasi dan memiliki integritas tinggi terhadap kepustakawanan Indonesia. Atau mungkin saja banyak pustakawan yang ”takut” untuk mendapatkan predikat teladan. Sekali mereka disebut teladan, maka ia akan merasa terbebani seumur hidupnya.

Kelima, saya merasa bahwa sistem pencalonan satu provinsi satu calon terasa agak kurang ”adil”. Provinsi yang kaya pustakawan seperti DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur mempunyai jatah yang sama dengan provinsi yang jumlah pustakawannya sangat sedikit seperti Papua, Banten, Maluku Utara dan lain-lain.

Berdasarkan beberapa catatan ini, saya ingin mengusulkan beberapa hal untuk memperbaiki pemilihan pustakawan teladan dimasa datang. Pertama, sebaiknya menggunakan nama PEMILIHAN PUSTAKAWAN BERPRESTASI.

Kedua, pelaksanaan pemilihan dilakukan dengan waktu yang cukup lama, setidak-tidaknya enam bulan sebelum pemilihan tingkat nasional, pemilihan di tingkat provinsi harus sudah dilakukan.

Ketiga, untuk menjamin keadilan, maka jumlah peserta dari masing-masing provinsi perlu diatur dengan sistem kuota (misalnya berdasarkan jumlah pustakawan di provinsi yang bersangkutan). Provinsi yang memiliki jumlah pustakawan banyak, memiliki jatah yang lebih banyak dibandingkan dengan provinsi yang memiliki jumlah pustakawan sedikit. Ilustrasinya demikian, misalnya Provinsi DKI memiliki pustakawan dengan jumlah 1.500 orang, sedangkan Provinsi Banten hanya memiliki 500 orang. Jika kuota didasarkan kepada jumlah 500 orang pustakawan (wakil calon pustakawan teladan tingkat nasional yang pertama tetap dapat dikirim walaupun jumlah pustakawan di provinsi tersebut kurang dari 500 orang, namun provinsi tersebut dapat menambah jumlah 1 orang wakil setiap kelipatan 500 orang pustakawan), maka provinsi DKI dapat mengirimkan 3 orang calon, sedangkan Provinsi Banten akan mengirimkan 1 orang calon. Jika ada Provinsi yang memiliki jumlah pustakawan kurang dari 500 orang, maka provinsi tersebut tetap dapat mengirimkan wakilnya sebanyak 1 orang (misalnya saja Provinsi Bangka Belitung hanya memiliki tidak lebih dari 50 orang pustakawan). Untuk itu panitia harus segera menentukan kuota masing-masing provinsi sehingga provinsi yang bersangkutan segera melakukan pemilihan dengan waktu seleksi yang cukup lama. Pemilihan tingkat provinsi sebaiknya ditekankan kepada integritas dan loyalitas (dan mungkin kreatifitas calon) terhadap profesi pustakawan. Misalnya saja, aktifitas calon dalam organisasi profesi (IPI, Forum, atau organisasi lain yang berbasis pustakawan), aktifitas calon dalam menggerakkan minat dan kegemaran membaca (misalnya pembinaan dan pengembangan perpustakaan desa, taman bacaan masyarakat dan lain-lain), aktifitas calon dalam membina dan mengembangkan publikasi bidang kepustakawanan (seperti keikutsertaan calon dalam suatu penerbitan jurnal perpustakaan, produktifitas yang bersangkutan dalam menulis dan mempublikasikan tulisannya), kreatifitas calon menyangkut ide-ide atau karya-karya yang telah dihasilkan dalam bidang kepustakawanan. Semua hasil penilaian tersebut harus disertai dengan bukti-bukti dan dikirimkan ke panitia tingkat Nasional. Pemilihan di tingkat nasional lebih ditekankan kepada sikap, wawasan, dan visi masa depan, tentu saja kemampuan kognitif peserta.

Keempat, Calon pustakawan teladan sebaiknya tidak hanya dibatasi untuk pustakawan PNS saja. Oleh karena itu, syarat calon tidak hanya dibatasi hanya pustakawan yang memiliki jabatan fungsional. Sosialisasi penyelenggaraan pemilihan pustakawan berprestasi ini harus dibuat terbuka dan menggunakan media yang lebih terbuka. Tidak hanya diumumkan melalui Perpustakaan Provinsi. Dengan demikian maka setiap perpustakaan dapat menyiapkan calonnya lebih dini dan jumlah yang ikut seleksi tingkat provinsi akan lebih banyak. Bukankah memilih dari jumlah yang banyak akan lebih baik dibandingkan dengan memilih dari yang sedikit.

Kelima, sebaiknya perpustakaan provinsi ”menyiapkan” wakilnya sebagai calon pustakawan berprestasi tingkat nasional dengan memberikan ”pembekalan”. Dengan demikian wakil provinsi itu akan mampu menjawab pertanyaan dengan ”sempurna” baik pertanyaan yang berasal dari juri, maupun yang berasal dari publik. Bukankah sangat ”memalukan” seandainya seorang calon pustakawan berprestasi itu tidak bisa menjawab pertanyaan di depan publik, apalagi jika wawancara publik ini disiarkan oleh media massa.

1) Pustakawan Madya di Perpustakaan IPB dan anggota juri Pemilihan Pustakawan Teladan Tingkat Nasional tahun 2006