Pustakawan malas menulis ?
Oleh: Irma Elvina
(Mahasiswa semester I PS Magister Teknologi Informasi untuk Perpustakaan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor)
Pendahuluan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, rendahnya minat baca menjadikan budaya menulispun menjadi rendah pula. Menulis adalah aktivitas yang sangat penting dalam kelangsungan kerja, mulai dari membuat rencana kerja sampai kepada mendokumentasikan atau mendefinisiskan pekerjaan kita.
Bagi sebagian orang menulis adalah satu kegiatan yang sangat mengasyikkan, menuangkan pikiran, menceritakan pengalaman pribadi atau membuat karangan fiksi menjadi salah satu dasar mengapa aktifitas ini begitu digemari. Akan tetapi untuk mendapatkan waktu yang tepat untuk bermain-main aksara ini menjadi kendala yang cukup serius, terutama bagi mereka yang disibukkan oleh pekerjaan atau kesibukan sehari-hari.
Bagaimana dengan pustakawan, secara logika seorang pustakawan adalah seorang yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas karena sepanjang hidupnya bekerja di perpustakaan akan selalu bersinggungan dengan buku-buku dan tentu akan dengan mudah menulis dengan referensi buku-buku yang tersedia di perpustakaan tempatnya bekerja. Pada kenyataannya justru minat menulis pustakawan sangat rendah sekali. Apa yang yang sebenarnya terjadi dengan para pustakawan tersebut ?
Mengapa minat menulis pustakawan rendah ?
Pertanyaan di atas mempunyai jawaban yang beragam dan menurut hemat saya semuanya jawaban pertanyaan itu bermuara pada satu jawaban yaitu minat baca. Keadaan ini berimbas pada beberapa jurnal kepustakawanan yang terbit dan pernah terbit kekurangan bahan tulisan sehingga akhirnya tulisan muncul berasalal dari pengarang-pengarang itu-itu saja atau kadangkala tema yang ditulis seragam karena penulis yang produktif menulis lebih suka menulis dengan tema-tema tulisan yang dikuasainya.
Secara kualitas mutu sumberdaya manusia di perpustakaan meningkat, hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya kemampuan dan penguasaan para pustakawan akan teknologi informasi khususnya komputer, tetapi tetap saja penguasaan teknologi yang baik tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan menulis. Kemampuan menulis berhubungan dengan minat baca, seorang yang gemar membaca akan memiliki pengetahuan umum yang luas. Alm Andi Hakim Nasution (2002) mengatakan untuk menjadi seorang penulis yang baik seseorang harus memelihara tingkat pengetahuan dan pengalamannya caranya sederhana saja cukup dengan rajin membaca dan mempraktikan apa yang dibacanya sebagai kajian kemasyarakatan.
Kembali kepada masalah rendahnya minat menulis, perlu dicari akar permasalahan dan kemudian tentu saja solusinya.. Menurut pengamatan penulis selama ini ada beberapa hal yang menghambat para pustakawan untuk menulis yaitu:
(1) Para pustakawan waktunya habis tersita untuk mengerjakan pekerjaan rutinnya, sehingga tak ada waktu lagi untuk mengembangkan kemampuan dirinya, hal ini sejalan dengan fakta bahwa 92,5 % persen tenaga pustakawan Indonesia adalah pustakawan pekerja atau kelompok “prajurit” (Hernandono, 2005),
(2) Penguasaan Pustakawan Indonesia akan Teknologi Informasi dan bahasa asing lemah, padahal kedua hal tersebut merupakan salah satu jendela untuk mengembangkan wawasan,
(3)Minat baca para pustakawan itu sendiri sangat rendah, padahal minat baca mempengaruhi kemampuan pustakawan untuk menulis,
(4) Kemauan pustakawan untuk mengembangkan dirinya sendiri sangat kurang, dan cukup puas dengan apa yang telah dilakukannya selama ini,
Walaupun si pustakawan kutu buku tetapi tidak menjamin bahwa akan mampu menulis dengan baik , karena seperti perkataan dari Thomas Alva Edison di atas, bakat saja tidak cukup yang diperlukan adalah kerja keras. Pustakawan harus sering berlatih dan terus berlatih menulis karana tanpa latihan dan uasaha keras tidak akan didapat hasil yang maksimal.
Pustakawan sebenarnya memiliki modal yang kuat dalam mengembangkan budaya menulis, karena sarana untuk menulis telah tersedia yaitu buku-buku yang menjadi bagian dari hidupnya, yang selama tidak disadari merupakan harta karun bagi kekayaan intelektualnya, selanjutnya tinggal faktor kemauan dari pustakawan tersebut. Semoga para pustakawan tergugah untuk mengemabngakan potensi dirinya untuk menulis apa saja yang terlintas di benaknya dengan memafaatkan pengetahuan yang dimilikinya yang tentu saja dapat dipertanggung jawabkan.
Bahan Bacaan
Hernandono, 2005. Meretas kebuntuan kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi sumberdaya tenaga perpustakaan. Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Pustakawan Utama
Tahun 2005
Nasoetion, Andi Hakim, 2002. Pola induksi seorang eksperimentalis. Bogor. IPB Press.
(Mahasiswa semester I PS Magister Teknologi Informasi untuk Perpustakaan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor)
Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration
Keberbakatan itu satu persen ilham dan sembilan puluh sembilan persen keringat
Thomas Alva Edison (1847-1931)
Pendahuluan
Sudah menjadi rahasia umum bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, rendahnya minat baca menjadikan budaya menulispun menjadi rendah pula. Menulis adalah aktivitas yang sangat penting dalam kelangsungan kerja, mulai dari membuat rencana kerja sampai kepada mendokumentasikan atau mendefinisiskan pekerjaan kita.
Bagi sebagian orang menulis adalah satu kegiatan yang sangat mengasyikkan, menuangkan pikiran, menceritakan pengalaman pribadi atau membuat karangan fiksi menjadi salah satu dasar mengapa aktifitas ini begitu digemari. Akan tetapi untuk mendapatkan waktu yang tepat untuk bermain-main aksara ini menjadi kendala yang cukup serius, terutama bagi mereka yang disibukkan oleh pekerjaan atau kesibukan sehari-hari.
Bagaimana dengan pustakawan, secara logika seorang pustakawan adalah seorang yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas karena sepanjang hidupnya bekerja di perpustakaan akan selalu bersinggungan dengan buku-buku dan tentu akan dengan mudah menulis dengan referensi buku-buku yang tersedia di perpustakaan tempatnya bekerja. Pada kenyataannya justru minat menulis pustakawan sangat rendah sekali. Apa yang yang sebenarnya terjadi dengan para pustakawan tersebut ?
Mengapa minat menulis pustakawan rendah ?
Pertanyaan di atas mempunyai jawaban yang beragam dan menurut hemat saya semuanya jawaban pertanyaan itu bermuara pada satu jawaban yaitu minat baca. Keadaan ini berimbas pada beberapa jurnal kepustakawanan yang terbit dan pernah terbit kekurangan bahan tulisan sehingga akhirnya tulisan muncul berasalal dari pengarang-pengarang itu-itu saja atau kadangkala tema yang ditulis seragam karena penulis yang produktif menulis lebih suka menulis dengan tema-tema tulisan yang dikuasainya.
Secara kualitas mutu sumberdaya manusia di perpustakaan meningkat, hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya kemampuan dan penguasaan para pustakawan akan teknologi informasi khususnya komputer, tetapi tetap saja penguasaan teknologi yang baik tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan menulis. Kemampuan menulis berhubungan dengan minat baca, seorang yang gemar membaca akan memiliki pengetahuan umum yang luas. Alm Andi Hakim Nasution (2002) mengatakan untuk menjadi seorang penulis yang baik seseorang harus memelihara tingkat pengetahuan dan pengalamannya caranya sederhana saja cukup dengan rajin membaca dan mempraktikan apa yang dibacanya sebagai kajian kemasyarakatan.
Kembali kepada masalah rendahnya minat menulis, perlu dicari akar permasalahan dan kemudian tentu saja solusinya.. Menurut pengamatan penulis selama ini ada beberapa hal yang menghambat para pustakawan untuk menulis yaitu:
(1) Para pustakawan waktunya habis tersita untuk mengerjakan pekerjaan rutinnya, sehingga tak ada waktu lagi untuk mengembangkan kemampuan dirinya, hal ini sejalan dengan fakta bahwa 92,5 % persen tenaga pustakawan Indonesia adalah pustakawan pekerja atau kelompok “prajurit” (Hernandono, 2005),
(2) Penguasaan Pustakawan Indonesia akan Teknologi Informasi dan bahasa asing lemah, padahal kedua hal tersebut merupakan salah satu jendela untuk mengembangkan wawasan,
(3)Minat baca para pustakawan itu sendiri sangat rendah, padahal minat baca mempengaruhi kemampuan pustakawan untuk menulis,
(4) Kemauan pustakawan untuk mengembangkan dirinya sendiri sangat kurang, dan cukup puas dengan apa yang telah dilakukannya selama ini,
Walaupun si pustakawan kutu buku tetapi tidak menjamin bahwa akan mampu menulis dengan baik , karena seperti perkataan dari Thomas Alva Edison di atas, bakat saja tidak cukup yang diperlukan adalah kerja keras. Pustakawan harus sering berlatih dan terus berlatih menulis karana tanpa latihan dan uasaha keras tidak akan didapat hasil yang maksimal.
Pustakawan sebenarnya memiliki modal yang kuat dalam mengembangkan budaya menulis, karena sarana untuk menulis telah tersedia yaitu buku-buku yang menjadi bagian dari hidupnya, yang selama tidak disadari merupakan harta karun bagi kekayaan intelektualnya, selanjutnya tinggal faktor kemauan dari pustakawan tersebut. Semoga para pustakawan tergugah untuk mengemabngakan potensi dirinya untuk menulis apa saja yang terlintas di benaknya dengan memafaatkan pengetahuan yang dimilikinya yang tentu saja dapat dipertanggung jawabkan.
Bahan Bacaan
Hernandono, 2005. Meretas kebuntuan kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi sumberdaya tenaga perpustakaan. Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Pustakawan Utama
Tahun 2005
Nasoetion, Andi Hakim, 2002. Pola induksi seorang eksperimentalis. Bogor. IPB Press.